Apakah Cukup Hanya dengan MDG’s untuk Memenuhi Hak Asasi Anak

Apakah Cukup Hanya dengan MDG’s untuk Memenuhi Hak Asasi Anak 

Millenium Development Goals (MDG’s) dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM), dapat dipergunakan sebagai salah satu alat untuk memonitor kepatuhan Negara dalam melaksanakan kewajibannya menjamin penikmatan HAM. Dalam fungsi ini MDG’s hanya merefleksikan sejumlah agenda yang ditujukan untuk menjamin penikmatan sejumlah HAM, seperti hak atas pangan, hak atas pendidikan, hak atas layanan kesehatan, dan hak atas standar hidup yang layak. Oleh karenanya Komisioner Tinggi HAM PBB (UN High Commisssioner for Human Rights) dalam laporannya pada 2002 menyatakan bahwa stretegi HAM dan pembangunan dalam MDG’s dapat memperkuat dan bersifat melengkapi instrumen hukum HAM internasional yang lainnya. 

Berdasarkan doktrin HAM klasik, tujuan-tujuan MDG’s dapat dikategorikan dalam rumpun hak ekonomi, sosial, dan budaya HAM. HAM dalam rumpun ini bersifat positif (positive rights), oleh karenanya negara harus melakukan intervensi aktif melalui kebijakan publiknya melalui tindakan legislatif, regulatif, administratif, dan anggaran. Pengkategorisasian ini mempunyai implikasi dan konsekuensi yuridis terhadap pelaksanaan kewajiban Negara, yakni mensyaratkan peran aktif Negara. Dengan demikian ketentuan Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya menjadi acuan utama dalam pelaksanaan tujuan-tujuan MDG’s. Peran Negara tersebut sesuai dengan sifat yang melekat pada hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, membutuhkan sumber daya untuk memenuhinya. 

Untuk menilai kepatuhan negara melaksanakan komitmen internasionalnya tersebut, Prinsip-Prinsip Limburg (The Limburg Principles on the Implementation of the International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights) dapat dijadikan pijakan untuk menginterpretasi secara legal ketentuan Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Butir 25 menyatakan bahwa negara berkewajiban, tanpa memandang tingkat pembangunan ekonominya untuk memastikan penghormatan terhadap hak-hak subsistensi minimum bagi semua orang. Selanjutnya, butir 28 menegaskan bahwa dalam penggunaan sumber daya yang tersedia, prioritas untuk memastikan bahwa setiap orang tercukupkan kebutuhan subsistensinya maupun tersedianya pelayanan-pelayanan terpenting. 

Kemudian, Pedoman Maastricht untuk Pelanggaran Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (The Maastricht Guidelines on Violations of Economic, Social and Cultural Rights) m mmm enetapkan tiga kewajiban yang berbeda pada setiap negara untuk menjamin hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang mencakup: (i) kewajiban untuk menghormati (to respect), (ii) kewajiban untuk melindungi (to protect), dan (iii) kewajiban untuk memenuhi (to fulfill). Kewajiban untuk menghormati mengharuskan negara menahan diri untuk tidak campur tangan dalam penikmatan HAM. Selanjutnya kewajiban untuk melindungi mengharuskan negara mencegah pelanggaran HAM oleh pihak ketiga. Kemudian kewajiban untuk memenuhi HAM mengharuskan negara mengambil tindakan-tindakan legislatif, administratif, anggaran, hukum, dan semua tindakan lain yang memadai guna memenuhi sepenuhnya HAM. 

Dalam perspektif yang sebangun tujuan, target, dan indikator yang tercantum dalam MDG’s merupakan elaborasi kewajiban mengenai hasil (obligation of result). Kewajiban mengenai hasil dalam MDG’s tercermin pada keharusan negara untuk mencapai target tertentu (outcome) guna memenuhi standar substansif pada tahun 2015. Dengan kata lain, MDG’s mendeskripsikan capaian-capaian kuantitatif untuk mewujudkan kewajiban normatif dan kualitatif sebagaimana tercantum dalam instrument hukum HAM yang lebih menekankan pada kewajiban negara untuk melakukan tindakan (obligation of conduct). 

Titik-Titik Kritis MDG’s dalam Perspektif HAM
MDG’s memang telah menetapkan dan mengelaborasi rencana tindakan disertai dengan target waktu untuk merealisasikan tujuan-tujuan MDG’s, tetapi MDG’s tidak merumuskan bagaimana rencana tindakan tersebut semestinya dijalankan. Di samping itu, meskipun telah menetapkan tujuan-tujuan yang relatif ambisius, MDG’s secara esensial hanya memfokuskan pada satu pendekatan, yakni berorientasi pada pencapaian kuantitatif. Pendekatan seperti ini lebih kentara berorientasi pada tujuan pragmatis ketimbang idealis. Thomas Pogge menyatakan bahwa tujuan MDG’s tidaklah cukup untuk mendukung secara penuh realisasi tujuan-tujuan lain yang telah ditetapkan oleh PBB, misalnya Deklarasi Roma mengenai Keamanan Pangan Dunia (Rome Declaration on World Food Security), 1996. Bahkan lebih jauh Thomas Pogge menyatakan bahwa tujuan pertama dari MDG’s yaitu menurunkan separuh angka kemiskinan pada 2015 dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusian dengan skala besar. Penetapan tersebut dapat dimaknai bahwa hanya separuh saja orang miskin di dunia ini yang dapat melanjutkan kehidupannya di setiap Negara. Kemudian penetapan MDG’s tidak realistis jika dikaitkan dengan pengalaman komunitas internasional. Dalam perpektif Maurice Cranston's oleh karena MDG’s merupakan refleksi kewajiban Negara memenuhi hak ekonomi, sosial, dan budaya maka pemenuhannya membutuhkan pengembangan jaminan sosial melalui dukungan sumber daya yang besar. Dengan kata lain penetapan demikian justru malah kontra produktif karena hanya menciptakan harapan semu apabila tidak diikuti komitmen Negara mengalokasikan sumber dayanya. Kritik berlanjut dapat ditemui melalui pandangan Clemens, Kenny dan Moss yang menyatakan bahwa pentargetan MDG’s mereduksi secara berlebihan akar permasalahan kemiskinan yang dialami oleh banyak Negara berkembang dan miskin. Di samping itu, MDG’s menciptakan ketergantungan Negara berkembang dan miskin terhadap negera maju untuk mewujudkan tujuan MDG’s. Ketergantungan ini tercipta karena masih mengandalkan efektivitas bantuan luar negeri dari Negara-Negara maju. Di sisi lain prasyarat ini dapat dijadikan dalih bahwa kegagalan Negara memenuhi tujuan MDG’s karena Negara yang bersangkutan tidak menerima bantuan luar negeri. Padahal bisa jadi hal itu bersumber dari kebijakan domestik yang memang tidak ditujukan untuk merealisasikan tujuan MDG’s. Dalam perspektif ekonomi politik internasional, MDG’s dikonstruksikan untuk memelihara hegemoni Negara-negara maju atas negera Negara berkembang dan miskin. Hegemoni ini terlihat pada tujuan MDG’s yakni Mengembangkan Kemitraan Global untuk Kemitraan dengan target dan indikator yang dibangun berdasarkan perspektif negara maju. 

Dari kritik-kritik ini memunculkan permasalahan MDG’s yang mendasar, yakni pendekatan MDG’s masih mentoleransi terjadinya kemiskinan yang berkelanjutan karena pencapaian MDG’s ditekankan secara bertahap.[2] Menurut Philips Alston beberapa titik kritis paradigma MDG’s di atas jika disandingkan dengan perspektif HAM sebagai berikut:

1. Proses adopsi MDG’s :
  • Proses pembentukan MDG’s hanya berasal dari pemerintah (top down) tidak dibangun berdasarkan masukan dari masyarakat madani.
2. Isi MDG’s: 
  • Beberapa tujuan MDG’s tidak fokus secara khusus dengan pendekatan HAM, melainkan menekankan pencapaian pada titik ambang batas pencapaian suatu hak sehingga memarjinalkan isu pemenuhan HAM itu sendiri;
  • Dari perspektif HAM tujuan MDG’s mengandung problematika sebab hanya menekankan beberapa isu saja sehingga mengecualikan beberapa HAM yang lain;
  • MDG’s hanya dipersiapkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan yakni setengah dari ukuran-ukuran pencapaian. Hal ini bertentangan dengan dengan pendekatan HAM yakni bahwa pemenuhan HAM setiap manusia sebagai cara menyelesaikan permasalahan kemanusiaan secara komprehensif;
  • Ketentuan MDG’s hanya merepresentasikan seperangkat ukuran umum yang telah ditentukan untuk semua Negara dan tidak berdasarkan pada kebutuhan kebutuhan yang spesifik dari setiap individu pada suatu Negara;
  • Definisi kemiskinan dalam MDG’s sangat dangkal sehingga tidak menyentuh akar permasalahan kemiskinan itu sendiri yang justru berada di luar konteks MDG’s.

3. Fokus MDG’s:
  • MDG’s hanya dibebankan pada Negara pada saat yang sama Negara justru melakukan privatisasi dan mengambil kebijakan lain yang justru menghilangkan kemampuan Negara.
4. Keterkaitan dengan Inisiatif yang lain:
  • Tujuan MDG’s sangat berlebihan sebab mengadopsi alternatif kerangka kerja pendekatan berbasis HAM dengan pendekatan pembangunan yang berambisi menyelesaikan semua isu;
  • Proses MDG’s hanya akan digunakan oleh Pemerintah dan donor untuk mengalihkan perhatian masyarakat madani pada isu real pemenuhan HAM;
  • Pendekatan MDG’s bersaing dengan kerangka kerja yang dilakukan oleh LSM dan masyarakat madani dalam melaksanakan pemberdayaan masyarakat;
  • MDG’s sejak semula tidak ditujukan untuk pelaku privat, termasuk perusahaan multi nasional.
5. Monitoring dan tindak lanjut:
  • MDG’s tidak memberikan tinjauan analisis yang mendalam bagaimana merealisasikan tujuan MDG’s secara progresif;
  • Pencurahan waktu MD’s akan mengalihkan energi dan sumber daya terhadap keberadaan mekanisme HAM.
MDG’s dalam Kerangka Hak Asasi Anak 
Realisasi tujuan MDG’s dan KHA, khususnya yang berdimensi hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya bermuara pada kemauan politik (political will) Negara. Kemauan politik ini ditandai sampai sejauhmana kebijakan publik yang ditetapkannya ditujukan untuk menjamin pemenuhan hak asasi anak karena pada prinsipnya setiap hak asasi anak semesti dijamin melalui alokasi anggaran yang ditujukan secara khusus untuk memenuhi suatu hak. Di titik ini pula semestinya fungsi dan peran Negara dapat terefleksikan melalui anggaran publik yang ditetapkannya. Dengan kata lain penetapan prioritas alokasi sumber daya bagi kepentingan terbaik bagi anak menjadi faktor yang signifikan untuk menjamin pemenuhan hak asasi anak. Kewajiban ini secara jelas termaktub pada Pasal 4 KHA yang menyatakan bahwa Negara akan melakukan semua tindakan legislatif, administratif, dan tindakan lain yang tepat untuk pelaksanaan hak-hak yang diakui dalam Konvensi ini. Mengenai hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, maka Negara-negara Pihak harus melakukan tindakan-tindakan tersebut sampai pada jangkuan semaksimum mungkin dari sumber-sumber mereka yang tersedia dan apabila dibutuhkan dalam kerangka kerjasama internasional. 

Pada dasarnya sumber daya untuk mengimplementasikan ketentuan suatu konvensi terbagi ke dalam 3 (tiga) kategori, yakni : 
1. Sumber daya manusia, ialah “orang-orang”: kapasitas, tindakan, waktu dan energi dari setiap individu atau komunitas.
2. Sumber daya ekonomi, ialah “sesuatu”: keuangan negara yang direfleksikan dalam anggaran publik, termasuk pembiayaan untuk kepentingan sosial.
3. Sumber daya organisasi ialah “lingkungan yang mendukung”: persetujuan informal dan formal antara orang-orang dengan prosedur yang mana tindakan-tindakan ini terstruktur dalam masyarakat, termasuk di dalamnya keseluruhan dan distribusi kekuasaan serta komitmen politik untuk mengalokasikan secara efektif sumber-sumber ekonomi. 

Terkait dengan pemenuhan hak asasi anak, tindakan-tindakan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 KHA di atas meliputi: 
1. Memastikan bahwa semua peraturan perundang-undangan (legislative policy) secara penuh sesuai dengan prinsip-prinsip dan ketentuan KHA ;
2. Membuat suatu strategi nasional secara komprehensif guna memenuhi dan melindungi hak-hak anak;
3. Mengalokasian dan menganalisis anggaran publik berdasarkan kepentingan terbaik untuk anak. 

Butir ketiga kewajiban pengalokasian anggaran publik, kemudian diartikulasikan lebih detil dalam The Guidelines for Periodic Report CRC Committee, sebagai berikut: 
1. Mengambil langkah-langkah guna memastikan terdapatnya koordinasi antara kebijakan ekonomi dan kebijakan layanansss sosial; 
2. Pembagian anggaran publik yang proporsional untuk belanja layanan sosial baik di level pemerintah pusat maupun pemerintah daerah bagi kepentingan anak, termasuk kesehatan, kesejahteraan, dan pendidikan;
3. Terdapatnya kecenderungan kenaikan anggaran publik untuk kepentingan anak;
4. Mengambil langkah-langkah guna memastikan semua kompetensi nasional dan daerah, termasuk para pengambil kebijakan anggaran publik, diorientasikan untuk kepentingan anak serta mengevaluasi penetapan prioritas alokasi anggaran yang ditujukan bagi kepentingan terbaik untuk anak; 
5. Memastikan tindakan-tindakan yang telah diambil tidak menimbulkan disparitas antar wilayah dan kelompok anak dan tindakan tersebut dapat menjembatani keterkaitan kebijakan alokasi anggaran publik dengan perlindungan sosial;
6. Memastikan tindakan-tindakan yang diambil berdampak pada anak-anak khususnya kelompok anak yang tidak beruntung sehingga anak mendapatkan perlindungan terhadap risiko perubahan kebijakan ekonomi termasuk pengurangan alokasi anggaran untuk sektor sosial. 


Meninjau Titik-Titik Kritis MDG’s dengan KHA
Dalam konteks perlindungan hak asasi anak titik-titik kritis MDG’s di atas harus dianalisis lebih jauh dengan perspektif hak asasi anak. Tinjauan ini bertujuan untuk melihat lebih jauh dampak titik-titik kritis MDG’s tersebut terhadap perlindungan anak. Hal ini penting dilakukan mengingat kegagalan merealisasikan tujuan MDG’s dapat diartikan melanggar hak asasi anak karena anak menggantungkan hidupnya pada keluarga dan lingkungan terdekatnya. Pencapaian hasil dari suatu hak, memang tergantung pada ketersediaan finansial yang memadai dan sumber daya yang lain. Namun, kurangnya sumber daya tidak mengurangi kewajiban negara untuk menjamin sedikitnya tingkat minimum dari hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya bagi semua penduduk. Terkait dengan hal ini, Komentar Umum (General Comment) Komite Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya PBB Nomor 3 (1990) tentang Sifat dari Kewajiban-Kewajiban Negara Peserta (On the Nature of State Obligations) menegaskan bahwa memang realisasi progresif pemenuhan hak memiliki batas-batas, namun demikian dalam hal halangan sumber daya negara tetap harus menjamin sedikitnya tingkat minimal dari tiap-tiap hak untuk dipenuhi. Dengan kata lain, terdapat ambang batas (minimum core obligations) di mana keterbatasan sumber daya tidak dapat dijadikan dalih bagi negara untuk mengingkari atau tidak mampu memenuhi hak-hak tersebut. Malah negara diharuskan menciptakan standar nasional yang spesifik yang akan memberikan dampak terpenuhinya setiap hak dalam tingkat yang esensial. 

Dalam kaitannya dengan pemenuhan hak asasi anak jika membaca tujuan MDG’s paling tidak terdapat dua hak asasi anak yang menjadi bagian dari agenda MDG’s, yaitu hak atas pendidikan dan hak atas kesehatan. Meskipun MDG’s sudah mencantumkan dua hak asasi anak, namun indikator-indikatornya tidak mengadopsi standar pemenuhan hak atas pendidikan dan hak atas kesehatan sebagaimana ditetapkan oleh Komite Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Committee on Economic, Sosial, and Cultural). Menurut Komite hak pendidikan terpenuhi apabila indikator-indikator berikut dapat terpenuhi: 
a. Ketersediaan (availability), merujuk pada tiga jenis kewajiban Pemerintah, yakni: (i) pendidikan sebagai hak sipil dan politik mensyaratkan bahwa Pemerintah menjamin kebebasan bagi setiap sekolah mengembangkan pendidikan formal dan non formal dan orang tua bebas memilih pendidikan bagi anaknya sesuai dengan kepentingan terbaik bagi anak; (ii) pendidikan sebagai hak ekonomi dan sosial, menyaratkan bahwa Pemerintah memastikan bahwa pendidikan dasar gratis dan tersedia bagi semua anak; dan (iii) pendidikan sebagai hak budaya menyaratkan penghormatan terhadap keragaman, khususnya bagi kelompok minoritas dan masyarakat adat;

b. Aksesibilitas (accessibility), dimaknai bahwa Pemerintah harus mengupayakan penghapusan praktik-praktik diskriminasi atas dasar gender dan ras, serta memastikan akses pendidikan pada setiap tingkatan bagi setiap anak berdasarkan kesetaraan; 

c. Akseptibilitas (acceptability), menyaratkan jaminan minimum terhadap kualitas pendidikan dengan mempertimbangkan pengembangan sistem pendidikan yang menghormati budaya minoritas dan masyarakat adat. Kemudian, membuat aturan yang melarang pendisiplinan melalui penghukuman (corporal punishment). Kewajiban selanjutnya, mengembangkan kurikulum dan buku teks sesuai dengan nilai-nilai HAM;

d. Adaptibilitas (adaptability), menyaratkan bahwa sekolah dapat merespon kebutuhan setiap individu anak sesuai ketentuan KHA dan prinsip kepentingan terbaik bagi anak.

Sedangkan indikator-indikator hak atas kesehatan menurut Komite mencakup : 
a. Ketersediaan (availability), artinya fasilitas kesehatan, distribusi obat-obatan dan pelayanan kesehatan publik serta program-program kesehatan mesti dapat dinikmati oleh setiap orang;
b. Aksesibilitas (accessibility), memiliki empat dimensi yaitu : non diskriminasi, aksesibiltas secara fisik, aksesibiltas secara ekonomi (affordability) dan aksesibilitas atas informasi; 
c. Akseptabilitas (acceptability), semua fasilitas kesehatan harus diberikan sesuai dengan HAM dan etika medis, menjunjung kehormatan pasien atau penghormatan terhadap klien, dan layak secara kultural; 
d. Kualitas (quality), prinsip kualitas mempunyai arti secara medis dan ilmu pengetahuan (scientifically) layak dan berkualitas baik. Pemenuhan prinsip ini berkaitan erat dengan keterampilan personel medis, dapat diuji berdasarkan ilmu pengetahuan, perlengkapan rumah sakit, air bersih, dan sanitasi yang memadai.

Kemudian, dalam hal tindakan khusus yang semestinya diambil Negara untuk merealisasikan tujuan MDG’s agar sesuai dengan karakteristik kebutuhan anak yang bersifat khusus tidak nampak di dalamnya. Hal ini terjadi karena tujuan-tujuan MDG’s ditetapkan secara umum dan diberlakukan sama untuk setiap kelompok. Padahal Mukadimah KHA sebagai landasan filosofis KHA menegaskan kewajiban Negara tersebut bahwa anak karena alasan ketidakdewasaan fisik dan jiwanya membutuhkan perlindungan dan pengasuhan khusus, termasuk perlindungan hukum yang tepat, baik sebelum dan juga sesudah kelahiran. 

Selanjutnya, apabila target MDG’s disandingkan dengan KHA maka terdapat titik-titik kritis antara target MDG’s dengan tujuan KHA. Titik kritis ini terdapat pada target MDG’s yaitu terjalinnya kerjasama dengan negara maju, mengembangkan dan melaksanakan strategi produktif yang baik, dijalankan untuk kaum muda. Pencapaian target ini ditandai dengan turunnya angka pengangguran kaum muda usia 15-24 tahun berdasarkan jenis kelamin dan jumlah. Target dan indikator ini berpotensi digunakan oleh Pemerintah untuk menjustifikasi keberadaan anak yang dipekerjakan (buruh anak). Secara normatif menurut Pasal 1 KHA, anak didefinisikan sebagai setiap manusia di bawah umur delapan belas tahun. Dengan demikian penetapan rentang usia 15-24 sebagai target penurunan pengangguran berpotensi meningkatkan jumlah anak yang dipekerjakan.

Terkait dengan anak yang dipekerjakan, Pasal 32 KHA menetapkan ketentuan sebagai berikut:
1. Negara mengakui hak anak untuk dilindungi dari eksploitasi ekonomi dan dari melakukan setiap pekerjaan yang mungkin berbahaya atau mengganggu pendidikan si anak, atau membahayakan kesehatan si anak atau pengembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosialnya

2. Negara harus mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, sosial dan pendidikan untuk menjamin pelaksanaan pasal ini. Untuk tujuan ini dan dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan yang relevan dari instrumen-instrumen internasional yang lain, maka Negara-negara Pihak harus: 
a. Menentukan umur minimum atau umur-umur minimum untuk izin bekerja;
b. Menetapkan peraturan yang tepat mengenai jam-jam kerja dan syarat-syarat perburuhan;
c. Menentukan hukuman-hukuman atau sanksi-sanksi lain yang tepat untuk menjamin pelaksanaan pasal ini yang efektif.

Ketentuan ini dielaborasi lebih jauh oleh ILO dengan menetapkan dua konvensi yang mengatur limitasi-limatasi yang harus dipatuhi oleh setiap Negara agar anak-anak tidak tereksploitasi. Konvensi ILO 1973 Nomor 138 tentang Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja (Minimum Age Convention) memberikan limitasi bahwa anak-anak yang bekerja pada sektor-sektor pekerjaan yang membahayakan jiwa, kesehatan, keamanan, atau moral tidak boleh kurang dari 18 tahun. Konvensi ini, memang memberikan toleransi usia bagi anak-anak yang dipekerjakan yakni, usia minimum untuk diperbolehkan bekerja tidak boleh kurang dari usia tamat wajib sekolah dan dalam keadaan apapun tidak boleh kurang dari 15 tahun. Konvensi ini lebih lanjut menyatakan bahwa undang-undang nasional juga dapat mengizinkan dipekerjakannya mereka yang berusia sedikitnya 15 tahun tetapi belum menyelesaikan wajib sekolah asalkan pekerjaan tersebut tidak membahayakan kesehatan atau perkembangan mereka dan tidak memberikan kesulitan bagi mereka untuk bersekolah atau berpartisipasi dalam program latihan kejuruan. Kemudian, konvensi ini mempersyaratkan negara untuk menentukan kegiatan di mana mereka diperbolehkan bekerja dan menetapkan jumlah jam kerja dan kondisi kerja di mana pekerjaan tadi boleh dilakukan.

Sementara, Konvensi ILO 1999 tentang Bentuk-Bentuk Terburuk Pekerja Anak Nomor 182 (Worst Forms of Child Labour Convention) secara lebih spesifik menyebutkan kondisi pekerjaan yang dilarang bagi anak, yang meliputi: 
1. Segala bentuk perbudakan atau praktik sejenis perbudakan:
  • Perdagangan anak
  • Kerja ijon dan perhambaan
  • Kerja paksa atau wajib kerja, pengerahan anak secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata
2. Pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk:
  • Pelacuran
  • Produksi pornografi atau untuk pertunjukkan porno
3. Kegiatan terlarang, khususnya untuk produksi dan perdagangan obat-obatan terlarang;

4. Pekerjaan yang sifatnya atau dari lingkungan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak-anak.

Ketentuan-ketentuan di atas dengan tegas mewajibkan Negara mencegah anak-anak masuk pada suatu situasi dan kondisi yang mengancam kehidupannya sehingga anak-anak dapat mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal. Dengan demikian terlihat ketidaksesuaian antara indikator MDG’s dengan tujuan perlindungan anak yang menjadi spirit utama instrumen hukum HAM internasional tersebut. Oleh karenanya target MDG’s untuk mengurangi angka pengangguran bagi kelompok muda dengan rentang usia 15-24 tahun MDG’s sama halnya MDG’s mentoleransi anak-anak terperangkap pada suatu relasi yang berpotensi mengeksploitasi. Padahal secara normatif pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya tidak dapat ditunda-tunda lagi dengan alasan kondisi keterbatasan sumber daya suatu Negara. 

Dalam konteks Indonesia, menurut estimasi ILO IPEC saat ini jumlah anak yang dipekerjakan ada 2,6 juta anak yang tersebar bekerja diberbagai sektor. Eliminasi jumlah anak yang dipekerjakan tentu akan sulit terealisasi apabila target dan indikator MDG’s di atas menjadi referensi pembenar bagi Pemerintah. Pembenaran ini dapat terbaca pada UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. UU tersebut menetapkan standar usia kerja bagi anak lebih rendah dari standar MDG’s, yakni 13 tahun. Di samping itu, terdapat beberapa ketentuan yang berpotensi melegalkan eksploitasi terhadap anak. Pelegalan ini terbaca pada Pasal 69 ayat (3) yang menyatakan bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, b, f, dan g dikecualikan bagi anak yang bekerja pada usaha keluarganya. 

Lebih jauh, UU ini melalui Pasal 74 memberikan kewenangan bagi Negara untuk menetapkan jenis-jenis pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak dengan Keputusan Menteri terkait. Kewenangan ini dapat dimanfaatkan oleh investor untuk mengintervensi Pemerintah agar dalam menetapkan kualifikasi suatu jenis pekerjaan membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak disesuaikan dengan kepentingan investor. Pegesahan UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang secara substantif menjanjikan aneka fasilitas bagi investor dapat dijadikan bukti yang memperkuat keperpihakan Negara terhadap kepentingan investor. Salah satu persyaratan bagi investor agar memperoleh fasilitas dari Pemerintah adalah penanaman modal tersebut akan menyerap banyak tenaga kerja. Kebijakan Pemerintah di bidang ketenagakerjaan inilah yang berpotensi diintervensi oleh para investor karena anak-anak merupakan sumber tenaga kerja yang murah. Apalagi dua faktor utama yang menyebabkan anak-anak terpaksa bekerja yakni: (i) kemiskinan yang semakin masif dan (ii) tingginya anak-anak putus sekolah, belum dapat di atasi oleh Pemerintah. 

Titik kritis selanjutnya, dalam merealisasikan tujuan MDG’s partisipasi anak tidak dijadikan sebagai indikator. Padahal berdasarkan Deklarasi Hak atas Pembangunan (Declaration on the Right to Development) partisipasi merupakan HAM yang melekat pada setiap manusia sebagai sunyek pembangunan. Pasal 1 dari Deklarasi tersebut menyatakan bahwa hak atas pembangunan merupakan hak yang tidak terpisahkan dari HAM di mana setiap manusia dilekati hak untuk berpartisipasi, berkontribusi, dan menikmati pembangunan ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Dalam kerangka yang sebangun, partisipasi dimaknai Roger Hart sebagai suatu proses pembagian pengambilan suatu kebijakan yang mempengaruhi kehidupan seseorang dan kehidupan komunitas di mana seseorang hidup. Sedangkan partisipasi anak merujuk pada partisipasi aktif anak-anak dan secara nyata untuk memberikan pengaruh pada sebuah kebijakan yang berdampak pada kehidupan anak-anak. Partisipasi anak tidak hanya sebagai manipulasi, asesori atau kehadiran anak bersifat pasif karena menjalankan kepentingan orang dewasa. 

Pasal 12 KHA menjadi landasan hukum anak-anak untuk berpartisipasi. Pasal ini menyatakan bahwa Negara-negara akan menjamin anak-anak hak untuk menyatakan pandangan­-pandangannya secara bebas dalam semua hal yang menyangkut kehidupan anak, serta pandangan anak diberi akan diberikan bobot sesuai dengan usia dan kematangan anak. Namun hak anak untuk berpartisipasi dapat terjamin secara penuh apabila terdapat kondisi-kondisi berikut yakni : (i) anak bebas menerima, mencari, dan memberikan informasi (Pasal 13 dan 17 KHA); (ii) anak bebas menyatakan pikirannya (Pasal 14 KHA); dan anak memiliki kebebasan berorganisasi dan berkumpul (Pasal 15 KHA). Dalam titik ini anak sebagai salah elemen warga Negara seharusnya diberikan ruang untuk berpartisipasi dalam setiap proses pembangunan. David Hodgson mengidentifikasi lima kondisi yang dibutuhkan agar anak-anak dapat berpartisipasi, yakni : 

Akses ke dalam setiap proses pembuatan kebijakan; 
Akses untuk memperoleh informasi yang relevan; 
Kebebasan untuk memilih sesuai dengan pilihannya; 
Institusi independen dan terpercaya yang dapat mendorong terepresentasikannya kepentingan dan kebutuhan anak; 
Terakomodasikannya cara untuk mengajukan perbaikan. 

Meskipun kebutuhan anak atas pendidikan dan kesehatan sudah diakomodasi dalam MDG’s namun karena pendekatan MDG’s menggunakan paradigma pembangunan maka kelima kondisi-kondisi mendasar di atas sebagai prasyarat partisipasi anak tidak dicantumkan sebagai indikator. Seharusnya partisipasi dimaknai sebagai melibatkan secara luas seluruh elemen masyarakat madani (civil society). Anak-anak termasuk selama ini belum dilibatkan dalam dialog dengan para pengambil kebijakan di tingkat nasional dan lokal dan sekaligus memberikan pengakuan terhadap kepentingan mereka. Instrumen demokrasi yang ada belum cukup merefleksikan kepentingan terbaik bagi anak. Oleh karena itu tanpa akses pada setiap peristiwa proses demokrasi, anak-anak tidak memiliki kekuatan untuk menuntut pemenuhan apa yang menjadi hak asasinya. Pengabaian anak berpartisipasi merupakan diskriminasi ganda terhadap anak (twofold discrimination on children).

Reduksi penjaminan penikmatan hak asasi anak seperti yang tercantum dalam MDG’s pada dasarnya merupakan upaya memisahkan secara diametral pemenuhan hak asasi antara hak-hak asasi yang termasuk rumpun hak-hak sipil dan politik dengan hak-hak asasi yang termasuk rumpun hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Pemisahan pemenuhan hak ini sebenarnya tidak sesuai dengan karakteristik HAM yang dihasilkan Deklarasi Wina dan Program Aksi HAM, 1993 (Vienna Declaration and Programme of Action) yang menyatakan bahwa prinsip HAM adalah universal, saling bergantung, dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Dengan demikian standar pencapaian yang tercantum pada MDG’s masih di bawah standar pencapaian insrumen Hukum HAM internasional karena hanya berfokus pada pencapaian HAM tertentu. Terkait dengan kerja sama internasional, Deklarasi Wina 1993 lebih spesifik menetapkan bahwa tujuan kerja sama internasional adalah ditujukan secara khusus pemenuhan hak asasi anak bagi anak-anak yang dikategorikan sebagai anak-anak dalam situasi yang sulit (the children under especially difficult circumstances), seperti: anak-anak yang mendapatkan perlakuan salah dan tereksploitasi, anak yang dipekerjakan dalam kondisi berbahaya, penjualan anak dan organnya, anak yang dilacurkan, pornografi anak, dan penyalahgunaan seksual lainnya. Dalam kerangka hukum KHA, anak-anak demikian disebut anak dalam situasi khusus (childern in need of special protection/CNSP). Mengacu pada Komite Hak Anak PBB terdapat empat kelompok anak yang termasuk kategori ini, yakni: 

1. Anak-anak dalam situasi darurat (children in situation of emergency), yakni pengungsi anak (children refugee) baik pengungsi lintas negara maupun pengungsi dalam negeri (internally displaced people) dan anak yang berada dalam situasi konflik bersenjata (children in situation of armed conflict); 
2. Anak dalam situasi eksploitasi, meliputi eksplotasi ekonomi, penyalahgunaan obat (drug abuse), eksploitasi seksual, perdagangan anak (trafficking), dan ekploitasi bentuk lainnya; 
3. Anak yang berhadapan dengan hukum (children in conflict with the law);
4. Anak yang berasal dari masyarakat adat dan kelompok minoritas (children from indigenous people and minorities);

Meskipun telah dicantumkan dalam berbagai instrument hukum HAM internasional bahwa anak-anak dalam situasi khusus semestinya mendapatkan prioritas penanganan, namun karena terdapatnya perbedaan pendekatan maka kondisi demikian tidak dicantumkan sebagai indikator khusus dalam MDG’s. Hal ini pada akhirnya berdampak negara tidak menetapkan tindakan-tindakan khusus untuk mengatasi permasalahan anak-anak dalam situasi khusus ini.

,

BACA JUGA

Ditulis Oleh : Unknown // 10.59

0 komentar:

Posting Komentar