PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DI PERGURUAN TINGGI DAN TANTANGAN GLOBAL

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DI PERGURUAN TINGGI DAN TANTANGAN GLOBAL


                                                                           ABSTRAK

Secara yuridis, keberadaan Pendidikan Kewarganegaraan diperguruan tinggi cukup kuat, dan sebagai mata kuliah yang wajib diikuti oleh seluruh mahasiswa. Hal itu tampak jelas dalam pasal 37 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sesuai dengan tuntutan dan perubahan masyarakat di era reformasi, mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi, telah dilakukan perubahan paradigma menuju kepada paradigma humanistik yang mendasarkan pada asumsi bahwa mahasiswa adalah manusia yang mempunyai potensi dan karakteristik yang berbeda-beda. Indikasi ke arah itu tampak dari substansi kajian, strategi, dan evaluasi mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan yang ditawarkan kepada mahasiswa. Sementara itu, dalam mengantisipasi tuntutan global, pembelajaran diorientasikan agar para mahasiswa mempunyai kemampuan, kesadaran dan sikap kritis untuk menangkal dampak negatif globalisasi. Globalisasi dan ekspansi pasar perlu diimbangi kebebasan politik Pancasila sehingga mahasiswa sadar dan mampu memperjuangkan hak-hak politiknya secara benar, rasional dan bertanggung jawab. Upaya ke arah itu dapat dilakukan dengan mengisi dan memantapkan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) di perguruan tinggi dengan memberi kemampuan kritis kepada mahasiswa, sehingga mahasiswa secara sadar dan jujur melakukan kritik dan evaluasi tentang manfaat globalisasi. 

1. Pendahuluan

Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 37 menyatakan bahwa kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat tentang Pendidikan Kewarganegaraan yang bertujuan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Dengan telah dituangkannya Pendidikan Kewarganegaraan dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, ini berarti bahwa pendidikan kewarganegaraan memiliki kedudukan yang sangat strategis dalam pembentukan nation and character building. Namun demikian, dalam pelaksanaannya ia sangat rentan terhadap bias politik praktis penguasa, sehingga cenderung lebih merupakan instrumen penguasa daripada sebagai wahana pembentukan watak bangsa. Hal yang hampir sama terjadi pada negara-negara yang sedang berkembang seperti dikemukakan oleh (Cogan dalam Suryadi dan Somardi, 2000) menyatakan It (citizenship education) has also opten reflected the interests of those in power in a particular society and thus has been a matter of indoctrination and the establishment of ideological hegemony rather than of education.

Sejalan dengan perkembangan dan perubahan politik dari era otoritarian ke era demokratisasi, Pendidikan Kewarganegaraan telah menggantikan Pendidikan Kewiraan karena sudah tidak relevan dengan semangat reformasi dan demokratisasi. Mata kuliah Pendidikan Kewiraan ditinggalkan karena berbagai alasan, antara lain sebagai berikut. (1) karena pola pembelajaran yang indoktrinatif dan monolitik. (2) muatan materi ajarnya yang sarat dengan kepentingan ideologi rezim (orde baru). (3) mengabaikan dimensi afeksi dan psikomotor. Dengan demikian Pendidikan Kewiraan telah keluar dari semangat dan hakikat Pendidikan Kewarganegaraan sebagai pendidikan nilai dan pendidikan demokrasi. Menyadari realitas tersebut, diperlukan upaya rekonstruksi dan reorientasi Pendidikan Kewarganegaraan melalui mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) sebagai substitusinya. Upaya substitusi mata kuliah pendidikan Kewiraan menjadi Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) tidak bisa lepas dari konteks ikhtiar kalangan perguruan tinggi untuk menemukan format baru pendidikan demokrasi di Indonesia sekaligus mengantisipasi tuntutan global.

Globalisasi ditandai oleh kuatnya pengaruh lembaga-lembaga kemasyarakatan internasional, negara-negara maju yang ikut mengatur perpolitikan, perekonomian, sosial budaya, dan pertahanan keamanan global. Isu-isu global seperti demokrasi, hak asasi manusia dan lingkungan hidup turut pula mempengaruhi keadaan nasional. Globalisasi juga ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya di bidang informasi, komunikasi, dan transportasi membuat dunia menjadi transparan seolah-olah menjadi sebuah kampung tanpa mengenal batas negara. Kondisi ini akan mempengaruhi pola pikir, pola sikap, dan tindakan masyarakat Indonesia. 

Kehadiran Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) pada masa reformasi ini haruslah benar-benar dimaknai sebagai jalan yang diharapkan akan mampu mengantar bangsa Indonesia menciptakan demokrasi, good governance, negara hukum dan masyarakat sipil yang relevan dengan tuntutan global. Tentunya ekspektasi ini harus disertai dengan tindakan nyata bangsa ini, khususnya kalangan Perguruan Tinggi, untuk mengapresiasi dan mengimplementasikan Pendidikan Kewarganegaraan dalam dunia pendidikan. Jadi, hasil pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) sangat penting artinya bagi penumbuhan budaya demokrasi di Indonesia.

Untuk mencapai tujuan pendidikan kewarganegaraan seperti tersebut di atas, sangat dibutuhkan model dan strategi pembelajaran yang humanistik yang mendasarkan pada asumsi bahwa mahasiswa adalah manusia yang mempunyai potensi dan karakteristik yang berbeda-beda. Mahasiswa diposisikan sebagai subjek, sementara dosen diposisikan sebagai fasilitator dan mitra dialog mahasiswa. Materi disusun berdasarkan kebutuhan dasar mahasiswa, bersifat fleksibel, dinamis dan fenomenologis sehingga materi tersebut bersifat kontekstual dan relevan dengan tuntutan dan perubahan masyarakat lokal, nasional, dan global. 

2. Pembahasan

1 Esensi dan Eksistensi Pendidikan Kewarganegaraan 
Menurut (Azra dalam ICCE, 2003) bahwa istilah Pendidikan Kewargaan pada satu sisi identik dengan Pendidikan Kewarganegaraan. Namun disisi lain, istilah Pendidikan Kewargaan secara substantif tidak saja mendidik generasi muda menjadi warga negara yang cerdas dan sadar akan hak dan kewajibanannya dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang merupakan penekanan dalam istilah Pendidikan Kewarganegaraan, melainkan juga membangun kesiapan warga negara menjadi warga dunia (global society). Dengan demikian, orientasi Pendidikan Kewargaan secara substantif lebih luas cakupannya daripada Pendidikan Kewarganegaraan.

Sejalan dengan itu, (Zamroni dalam ICCE, 2003) berpendapat bahwa Pendidikan Kewarganegaraan adalah pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mempersiapkan warga masyarakat berpikir kritis dan bertindak demokratis, melalui aktivitas menanamkan kesadaran kepada generasi baru bahwa demokrasi adalah bentuk kehidupan masyarakat yang paling menjamin hak-hak warga masyarakat. Demokrasi adalah suatu learning process yang tidak dapat begitu saja meniru dari masyarakat lain. Kelangsungan demokrasi tergantung pada kemampuan mentransformasikan nilai-nilai demokrasi. Selain itu, Pendidikan Kewarganegaraan adalah suatu proses yang dilakukan oleh lembaga pendidikan dimana seseorang mempelajari orientasi, sikap dan perilaku politik sehingga yang bersangkutan memiliki poltical knowledge, awareness, attitude, political efficacy dan political participation serta kemampuan mengambil keputusan politik secara rasional dan menguntungkan bagi dirinya, masyarakat, dan bangsa. Menurut Soedijarto (dalam ICCE, 2003) mengartikan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai pendidikan politik yang bertujuan untuk membantu peserta didik untuk menjadi warga negara yang secara politik dewasa dan ikut serta dalam membangun sistem politik yang demokratis. 

Sementara itu, Pendidikan Kewarganegaraan keberadaanya secara yuridis cukup kuat, hal ini dapat dilihat dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 37 menyatakan bahwa kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat tentang Pendidikan Kewarganegaraan yang bertujuan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Dengan telah dituangkannya Pendidikan Kewarganegaraan dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, ini berarti bahwa pendidikan kewarganegaraan memiliki kedudukan yang sangat strategis dalam pembentukan nation and character building. Sebelum lahirnya Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, telah dikeluarkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 232/U/2000 dan No. 45/U/2002 tentang kurikulum pendidikan tinggi berbasis kompetensi (KBK), yang dipertegas lagi dengan Keputusan Dirjen Dikti No.38/Dikti/Kep/2002 tentang rambu-rambu pelaksanaan mata kuliah pengembangan kepribadian di Perguruan Tinggi. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) menekankan kejelasan hasil didik sebagai seseorang yang kompeten dalam hal, yakni (1) menguasai pengetahuan dan keterampilan tertentu, (2) menguasai penerapan ilmu pengetahuan dan keterampilan dalam bentuk kekaryaan, (3) menguasai sikap berkarya, dan (4) menguasai hakikat dan kemampuan dalam berkehidupan bermasyarakat dengan pilihan kekaryaan. 

Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di perguruan tinggi bertujuan membantu mahasiswa agar mampu mewujudkan nilai dasar agama dan kebudayaan serta kesadaran berbangsa dan bernegara dalam menerapkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang dikuasainya dengan rasa tanggung jawab kemanusiaan. Dalam konteks mata kuliah pengembangan kepribadian kompetensi yang dimaksud merupakan kemampuan dan kecakapan yang terukur setelah mahasiswa mengikuti proses pembelajaran secara keseluruhan yang meliputi kemampuan akademik, sikap dan keterampilan. Dalam pembelajarannya minimal mencapai kompetensi dasar atau yang sering disebut kompetensi minimal terdiri atas tiga jenis, yaitu pertama, kecakapan dan kemampuan penguasaan pengetahuan yang terkait dengan materi inti. Kedua, kecakapan dan kemampuan sikap. Ketiga, kecakapan dan kemampuan mengartikulasikan keterampilan seperti kemampuan berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan publik, kemampuan melakukan kontrol terhadap penyelenggara negara dan pemerintahan.

Ketiga kompetensi tersebut diartikulasi oleh mahasiswa untuk mengadakan pembelajaran (transfer of learning), pengalihan nilai (transfer of value) dan pengalihan prinsip-prinsip (transfer of principles) pendidikan agama, pendidikan Pancasila, dan pendidikan kewarganegaraan. Kemampuan mendapatkan kepercayaan dari rakyat, kemampuan membangun kearifan diri (self wisdom) dalam menggunakan kepercayaan yang diberikan masyarakat merupakan tuntutan dasar kelompok mata kuliah pengembangan kepribadian. 

2 Ruang Lingkup Materi dan Paradigma Pendidikan Kewarganegaraan
Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 38/DIKTI/Kep/2002 pada pasal 4 dinyatakan bahwa subsatansi kajian Pendidikan Kewarganegaraan adalah sebagai berikut. 

a. Pengantar
  •  Pendidikan Kewarganegaraan sebagai dasar kelompok MPK
  •  Sejarah Pendidikan Kewarganegaraan
b. Hak asasi manusia
  •  Pengakuan atas martabat dan hak-hak yang sama sebagai manusia hidup didunia.
  •  Penghargaan dan penghormatan atas hak-hak manusia dengan perlindungan hukum.
c. Hak dan kewajiban warga negara Indonesia
  •  Proses berbangsa dan bernegara
  •  Hak
  •  Kewajiban
d. Belanegara
  •  Makna bela negara
  •  Implementasi bela negara
  •  Demokrasi
  •  Demokrasi dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
e. Wawasan Nusantara
  •  Latar belakang filosofis wawasan nusantara
  •  Implementasi wawasan nusantara dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.
f. Ketahanan Nasional
  •  Konsep ketahanan nasional yang dikembangkan untuk menjamin kelngsungan hidup menuju kejayaan bangsa dan negara.
  • Fungsi ketahanan nasional sebagai kondisi doktrin dan metode dalam kehidupan dan perdagangan bebas.
g. Politik Strategi Nasional
  • Politik dan strategi nasional sebagai politik nasional dan strategi nasional untuk mengantisipasi perkembangan globalisasi kehidupan dan perdagangan bebas 
  • Politik nasional sebagai hakikat material politik negara
  • Strategi nasional sebagai hakikat seni dan ilmu politik pembangunan nasional.
Bila dicermati dari substansi kajian Pendidakan Kewarganegaraan di atas, telah mengarah pada paradigma demokrasi, sekaligus untuk memperkecil anggapan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan mengandung kelemahan. Kelemahan yang dimaksud sebagaimana yang dikemukakan oleh Winataputra (1999) bahwa materi pendidikan kewarganegaraan menunjukkan adanya kelemahan-kelemahan yang mendasar pada tingkatan paradigma, sehingga telah mengakibatkan ketidak jelasan, baik dalam tataran konseptual maupun tataran praksis. Kelemahan-kelemahan tersebut, yaitu (1) kelemahan dalam konseptualisasi pendidikan kewarganegaraan; (2) penekanan yang sangat berlebihan pada proses pendidikan moral behavioristik, terperangkap pada proses penanaman nilai yang cenderung indoktrinatif (value inculcation); (3) ketidakkonsistenan penjabaran berbagai dimensi tujuan pendidikan kewarganegaraan ke dalam kurikulum pendidikan kewarganegaraan; dan (4) keterisolasian proses pembelajaran dari konteks disiplin keilmuan dan lingkungan sosial budaya. Sejalan dengan pendapat di atas, Wahab (1999) mengemukakan beberapa kelemahan pendidikan kewarganegaraan di masa yang lalu sebagai berikut: (1) terlalu menekankan pada aspek nilai moral belaka yang menempatkan siswa sebagai objek yang berkewajiban untuk menerima nilai-nilai moral tertentu; (2) kurang diarahakan pada pemahaman struktur, proses, dan institusi-institusi negara dengan segala kelengkapannya; (3) pada umumnya bersifat dogmatis dan relatif ; (4) berorientasi kepada kepentingan rezim yang berkuasa. Lebih lanjut untuk menyikapi kelemahan-kelemahan pendidikan kewarganegaraan yang ada sebelumnya, maka paradigma baru pendidikan kewarganegaraan di perguruan tinggi telah dilihat secara holistik dan kontekstual dalam tataran ideal, instrumental dan praksis dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 

3 Paradigma Pendidikan Kewarganegaraan
Paradigma pendidikan terkait dengan 4 (empat) hal yang menjadi dasar pelaksanaan pendidikan, yaitu peserta didik, (mahasiswa), dosen, materi, dan manajemen pendidikan. Dalam pelaksanaan pendidikan, paling tidak terdapat dua kutub paradigma pendidikan yang paradoksal, yaitu paradigma feodalistik dan paradigma humanistik.

Paradigma feodalistik mempunyai asumsi bahwa lembaga pendidikan (Perguruan Tinggi) merupakan tempat melatih dan mempersiapkan peserta didik untuk masa datang. Oleh karena itu, peserta didik (siswa dan mahasiswa), ditempatkan sebagai objek semata dalam pembelajaran, sedangkan dosen sebagai satu-satunya sumber ilmu kebenaran dan informasi, berperilaku otoriter dan birokratis. Materi pembelajaran disusun secara rigid sehingga memasung kreativitas mahasiswa dan dosen. Sementara itu, manajemen pendidikan termasuk manajemen pembelajaran bersifat sentralistik, birokratis dan monolitik. Dalam penerapan strategi pembelajarannya, sangat dogmatis, indoktrinatif dan otoriter. 

Sementara itu, paradigma humanistik mendasarkan pada asumsi bahwa pesrta didik adalah manusia yang mempunyai potensi karakteristik yang berbeda-beda. Karena itu, dalam pandangan ini mahasiswa ditempatkan sebagai subjek sekaligus objek pembelajaran, sementara dosen diposisikan sebagai fasilitator dan mitra dialog mahasiswa. Materi pembelajaran yang disusun berdasarkan pada kebutuhan dasar mahasiswa, bersifat fleksibel, dinamis dan fenomenologis sehingga materi tersebut bersifat kontekstual dan memiliki relevansi dengan tuntutan dan perubahan sosial. Bjuga manajemen pendidikan dan pembelajarannya menekankan pada dimensi desntralistik, tidak birokratis, mengakui pluralitas dengan penggunaan strategi pembelajaran yang bervariasi dan demokratis. 

Mencermati arah perubahan dan penyempurnaan rambu-rambu pelaksanaan mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan yang telah ditetapkan oleh Ditjen Dikti di atas, telah mengindikasikan mempergunakan paradigma humanistik. 

Tantangan Global 

Globalisasi dapat dimaknai sebagai proses integrasi dunia disertai dengan ekspansi pasar (barang dan uang) yang di dalamnya mengandung banyak implikasi bagi kehidupan manusia (Khor, 2000). Integrasi dunia diperkirakan menimbulkan efek ganda (multiplier effect) dan diharapkan dapat merangsang perluasan peluang kerja dan peningkatan upah riel sehingga kemiskinan berkurang. Bagi negara maju dengan ketersediaan dukungan berbagai keunggulan (sumber daya manusia dan teknologi) barangkali harapan-harapan itu dapat menjadi kenyataan. Namun, bagi kebanyakan negara berkembang dengan berbagai kondisi keterbelakangan merasa khawatir bahwa integrasi dunia hanya menguntungkan pemilik modal (negara maju).

Berangkat dari pemikiran itu, Schiller dalam Nasikun (2005) menyatakan bahwa universitas di negara-negara Dunia Ketiga semakin tidak memiliki kemampuan untuk mencegah hadirnya paling sedikit tiga ragam perubahan sangat problematik. Pertama, universitas harus menyaksikan hadirnya dinamika perkembangan masyarakat yang semakin dikendalikan oleh “kriteria-kriteria pasar” Sentralitas prinsip-prinsip pasar pada gilirannya telah menghasilkan terjadinya komodifikasi dan komersialisasi informasi dan dengan demikian hanya akan menjamin ketersediaan informasi sejauh ia menghasilkan keuntungan. Kedua, globalisasi teknologi informasi juga telah dan akan mengakibatkan masyarakat dan ekonomi kita semakin tumbuh menjadi sebuah “corporate capitalism” yang akan semakin didominasi oleh institusi-institusi korporatis di dalam bentuk organisasi oligopolis atau bahkan monopolis. Ketiga, sebagai hasil dari keduanya, yang telah dan akan kita saksikan semakin transparan adalah meningkatnya kesenjangan kelas (class inequality) yang akan semakin menguasai dinamika perkembangan masyarakat dan ekonomi kita pada masa mendatang.

Tantangan sangat besar yang harus dijawab oleh setiap universitas di masa depan adalah bagaimana misinya itu harus dirumuskan dan didefinisikan kembali dalam bentuknya yang lebih kontekstual untuk menghadapi tekanan perubahan-perubahan global yang semakin keras saat ini dan di masa depan. Misi universitas harus dikontekstualisasikan dan direvitalisasi sehingga aktualisasinya melalui tridharma universitas benar-benar memiliki kemampuan untuk menjawab tantangan perubahan-perubahan global. Implikasi kelembagaan aktualisasinya menurut Nasikun (2005) adalah sebagai berikut. Pertama, pengembangan kurikulum yang dibangun di atas akomodasi perspektif multidisipliner atau transdisipliner, dimana komposisi mata kuliah memiliki kemampuan yang kuat untuk mengembangkan dialog antara disiplin ilmu pengetahuan tanpa harus kehilangan fokus perhatiannya pada pengembangan ilmu sendiri. Kedua, dalam penyelenggaraan program studi ilmu sosial dan humaniora, kebijakan yang dimaksud harus secara jelas didesain untuk membongkar dan mengikis monisme epistemologis, teoretis, metodologis. Ketiga, struktur organisasi lembaga pendidikan tinggi yang bersangkutan harus dikembangkan. 

Menyadari akan tantangan perubahan, baik lokal, nasional, maupun global semakin berat, Pendidikan Kewarganegaraan diharapkan mampu menumbuhkan sikap mental cerdas, penuh tanggung jawab dari mahasiswa untuk mampu memahami, menganalisis, serta menjawab berbagai masalah yang dihadapi masyarakat, bangsa dan negara secara tepat, rasional, konsisten, berkelanjutan serta menjadi warga negara yang tahu hak dan kewajibannya menguasai iptek serta dapat menemukan jati dirinya, dan dapat mewujudkan kehidupan yang demokratis, berkeadilan, dan berkemanusiaan.

Untuk mewujudkan harapan-harapan di atas, langkah konkrit yang harus dilakukan adalah mengemas dan mengisi kurikulum berbasis kompetensi (KBK) di perguruan tinggi dengan hal-hal sebagai berikut. Pertama, kemampuan-kemampuan berpikir kritis kritis mahasiswa. Kedua, kemampuan mengenali dan mendekati maslah sebagai masyarakat global. Ketiga, kemampuan untuk memahami, menerima, dan menghormati perbedaan budaya. Keempat, kemampuan menyelesaikan konflik secara damai. Kelima, kemampuan mengubah gaya hidup dan pola makanan pokok yang sudah biasa guna melindungi lingkungan. Keenam, kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan politik lokal, nasional, dan internasional.

3. Penutup

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut. Ditinjau dari sudut yuridis, posisi dan keberadaan Pendidikan Kewarganegaraan cukup kuat, sebagai mata kuliah yang wajib diikuti oleh seluruh mahasiswa. Untuk memperkokoh kedudukan Pendidikan Keawarganegaraan dipandang perlu adanya pencitraan, seperti misalnya “mahasiswa tanpa mengambil mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan tidak akan mungkin menjadi sarjana”. Sesuai dengan tuntutan perubahan yang ada saat ini mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan telah mengarah pada paradigma humanistik yang mendasarkan pada asumsi bahwa mahasiswa adalah manusia yang mempunyai potensi dan karakteristik yang berbeda-beda. Hal-hal yang mengindikasikan ke arah paradigma tersebut, tampak dari silabus atau substansi kajian, evaluasi, dan strategi pembelajaran mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan. 

Sementara itu, untuk mengantisipasi tuntutan perubahan global diharapkan mempunyai kemampuan untuk mengemas dan mengisi kurikulum berbasis kompetensi (KBK) perguruan tinggi dengan kesadaran dan sikap kritis dari mahasiswa untuk menangkal dampak negatif globalisasi. Globalisasi dan ekspansi pasar perlu diimbangi dengan liberalisasi politik Pancasila sehingga mahasiswa mampu dan berkehendak secara sadar untuk memperjuangkan hak-hak dan menolak segala sesuatu yang merugikan mereka. Akhirnya, mahasiswa perlu secara sadar dan jujur untuk melakukan kritik dan evaluasi tentang manfaat globalisasi.

,

BACA JUGA

Ditulis Oleh : Unknown // 15.28

0 komentar:

Posting Komentar