A.LEPASNYA TIMOR-TIMUR DARI INDONESIA
1.Lepasnya Timor-timur dari Indonesia tidak lepas dari dukungan politik Australia. Setelah pada awalnya menyatakan dukungan atas keutuhan Indonesia, 8 Februari 1999 Australia secara tegas mengusulkan lepasnya Timor Timur dari Indonesia. Selanjutnya Australia terlibat secara aktif, baik melalui opini maupun militer, dalam upaya 'melepaskan' Timor Timur dari Indonesia. Selama berbulan-bulan sebelum jajak pendapat di Timtim, pasukan-pasukan intelijen dan helikopter-helikopter Australia mondar-mandir masuk ke wilayah Indonesia, bahkan sampai masuk ke kawasan Maluku Tenggara.
Intervensi asing memang harus senantiasa kita waspadai. Akan tetapi, ada persoalan penting yang harus kita renungi bersama, Mengapa intervansi asing tersebut bisa berhasil? Mengapa Timor Timur bisa lepas? Mengapa penyelesaian Aceh sekarang ini banyak didominasi oleh asing? Jawabannya, karena kita membiarkan faktor-faktor intervensi asing yang menyebabkan disintegrasi Indonesia itu tumbuh subur, antara lain:
Pertama: tidak terpenuhinya hak-hak dasar rakyat seperti kesejahteraan, keadilan, keamanan, pendidikan, dan kesehatan. Apa yang terjadi di Papua sekarang ini merupakan bukti nyata. Daerah yang dikenal sebagai pusat tambang emas yang besar di Dunia ini ternyata rakyatnya hidup dalam kemiskinan. Kita tentu masih ingat busung lapar yang terjadi di Papua. Belum lagi minimnya sarana pendidikan, kesehatan, maupun transportasi di sana. Perkara inilah yang membuat saudara-saudara kita di Papua tertarik dengan ide kemerdekaan.
Kedua: lemahnya kesadaran politik masyarakat. Ide-ide disintegrasi yang dimainkan oleh asing gampang diterima masyarakat, padahal disintegrasi merupakan alat permainan negara-negara kapitalis penjajah. Yang diuntungkan dari disintegrasi adalah negara-negara penjajah. Karena itu, meminta bantuan kepada negara-negara kapitalis penjajah sesungguhnya bukanlah solusi, tetapi justru akan menimbulkan penderitaan baru.
2. masuk dan keluarnya timor timur dari Indonesia sama-sama dipengaruhi oleh asing, dalam hal ini kepentingan asing sangat-sangat terlibat bukan hanya masalah tim-tim tapi juga semua gerakan separatis itu pasti adanya campur tangan asing. kasus tersebut diperburuk dengan adanya pelanggaran HAM dan kesejahteraan rakyat yang tidak terpenuhi sehingga keinginan merdeka makin besar. yang harus selalu kita ingat adalah bahwa wilayah Indonesia adalah kaya akan SDA dan dan strategis secara militer sehingga asing terutama amerika jelas sangat tertarik.
3. Wilayah yg menjadi negara Indonesia setelah keputusan Konferensi Meja Bundar adalah wilayah bekas jajahan Hindia Belanda, sedangkan Timor-timur merupakan jajahan portugal.
Pada tahun 1975, ketika terjadi Revolusi Bunga di Portugal dan Gubernur terakhir Portugal di Timor Leste, Lemos Pires, tidak mendapatkan jawaban dari Pemerintah Pusat di Portugal untuk mengirimkan bala bantuan ke Timor Leste yang sedang terjadi perang saudara.
Setelah itu FRETILIN menurunkan bendera Portugal dan mendeklarasikan Timor Leste sebagai Republik Demokratik Timor Leste pada tanggal 28 November 1975.
Berdasarkan itulah, kelompok pro-integrasi kemudian mendeklarasikan integrasi dengan Indonesia pada 30 November 1975 dan kemudian meminta dukungan Indonesia untuk mengambil alih Timor Leste dari kekuasaan FRETILIN yang berhaluan Komunis.
Integrasi Timor-timur didukung oleh negara2 yg khawatir berkembangnya komunis.
Pada 30 Agustus 1999, dalam sebuah referendum yang diadakan PBB, sebagian besar rakyat Timor Timur memilih merdeka dari Indonesia. Antara waktu referendum sampai kedatangan pasukan perdamaian PBB pada akhir September 1999.
Pada 20 Mei 2002, Timor Timur diakui secara internasional sebagai negara merdeka dengan nama Timor Leste.kompleks problem nya;
1.adanya campur tangan pihak asing
2.lemahnya sistem pemerintahan kita
3.kebijakan yang salah dari para elite politik
B. LEPASNYA PULAU SIPADAN DAN PULAU LIGITAN DARI INDONESIA
Putusan Mahkamah Internasional/MI,International Court of Justice (ICJ) tanggal 17-12-2002 yang telah mengakhiri rangkaian persidangan sengketa kepemilikan P. Sipadan dan P. Ligitan antara Indonesia dan Malaysia mengejutkan berbagai kalangan. Betapa tidak, karena keputusan ICJ mengatakan kedua pulau tersebut resmi menjadi milik Malaysia.Disebutkan dari 17 orang juri yang bersidang hanya satu orang yang berpihak kepada Indonesia. Hal ini telah memancing suara-suara sumbang yang menyudutkan pemerintah khususnya Deplu dan pihak-pihak yang terkait lainnya. Dapat dipahami munculnya kekecewaan di tengah-tengah masyarakat, hal ini sebagai cermin rasa cinta dan kepedulian terhadap tanah air.
Ada hal yang menggelitik dari peristiwa ini, mengapa kita kalah begitu telak, padahal perkiraan para pemerhati atas putusan ICJ “fifty-fifty”, karena dasar-dasar hukum, peta dan bukti-bukti lain yang disiapkan oleh kedua pihak relatif berimbang. Dari penjelasan yang di “release” mass media, ternyata ICJ/MI dalam persidangan-persidangannya guna mengambil putusan akhir, mengenai status kedua Pulau tersebut tidak menggunakan (menolak) materi hukum yang disampaikan oleh kedua negara, melainkan menggunakan kaidah kriteria pembuktian lain, yaitu “Continuous presence, effective occupation, maintenance dan ecology preservation”. Dapat dimengerti bilamana hampir semua Juri MI yang terlibat sepakat menyatakan bahwa P. Sipadan dan P. Ligitan jatuh kepada pihak Malaysia karena kedua pulau tersebut tidak begitu jauh dari Malaysia dan faktanya Malaysia telah membangun beberapa prasarana pariwisata di pulau-pulau tersebut.
Sia-sialah perjuangan Indonesia selama belasan tahun kita memperjuangkan kedua pulau tersebut kedalam wilayah Yurisdiksi kedaulatan NKRI, ini akibat dari kekurang-seriusan kita dalam memperjuangkannya, itulah komentar-komentar yang muncul. Benarkah birokrat kita kurang serius memperjuangkan pemilikan dua pulau tersebut?
Dari rangkaian panjang upaya yang dilakukan rasanya perjuangan kita cukup serius. Putusan MI sudah final dan bersifat mengikat sehingga tidak ada peluang lagi bagi Indonesia untuk mengubah putusan tersebut. Tidak patut lagi kekalahan ini harus diratapi, yang terpenting bagaimana kita mengambil pelajaran untuk ke depan jangan sampai kecolongan lagi untuk ketiga kalinya.
Sekilas mengenai proses penyelesaian sengketa pulau Sipadan dan pulau Ligitan.
Kasus P. Sipadan dan P. Ligitan mulai muncul sejak 1969 ketika Tim Teknis Landas Kontinen Indonesia – Malaysia membicarakan batas dasar laut antar kedua negara. Kedua pulau Sipadan dan Ligitan tertera di Peta Malaysia sebagai bagian dari wilayah negara RI, padahal kedua pulau tersebut tidak tertera pada peta yang menjadi lampiran Perpu No. 4/1960 yang menjadi pedoman kerja Tim Teknis Indonesia. Dengan temuan tersebut Indonesia merasa berkepentingan untuk mengukuhkan P. Sipadan dan P. Ligitan. Maka dicarilah dasar hukum dan fakta historis serta bukti lain yang dapat mendukung kepemilikan dua pulau tersebut. Disaat yang sama Malaysia mengklaim bahwa dua pulau tersebut sebagai miliknya dengan mengemukakan sejumlah alasan, dalil hukum dan fakta. Kedua belah pihak untuk sementara sepakat mengatakan dua pulau tersebut dalam “Status Quo”.Dua puluh tahun kemudian (1989), masalah P. Sipadan dan P. Ligitan baru dibicarakan kembali oleh Presiden Soeharto dan PM. Mahathir Muhamad.
Tiga tahun kemudian (1992) kedua negara sepakat menyelesaikan masalah ini secara bilateral yang diawali dengan pertemuan pejabat tinggi kedua negara. Hasil pertemuan pejabat tinggi menyepakati perlunya dibentuk Komisi Bersama dan kelompok Kerja Bersama (Joint Commission/JC & Joint Working Groups/JWG).Namun dari serangkaian pertemuan JC dan JWG yang dilaksanakan tidak membawa hasil, kedua pihak berpegang (comitted) pada prinsipnya masing-masing yang berbeda untuk mengatasi kebutuan. Pemerintah RI menunjuk Mensesneg Moerdiono dan dari Malaysia ditunjuk Wakil PM Datok Anwar Ibrahim sebagai Wakil Khusus pemerintah untuk mencairkan kebuntuan forum JC/JWG.Namun dari empat kali pertemuan di Jakarta dan di Kualalumpur tidak pernah mencapai hasil kesepakatan.
Pada pertemuan tgl. 6-7 Oktober 1996 di Kualalumpur Presiden Soeharto dan PM. Mahathir menyetujui rekomendasi wakil khusus dan selanjutnya tgl. 31 Mei 1997 disepakati “Spesial Agreement for the Submission to the International Court of Justice the Dispute between Indonesia & Malaysia concerning the Sovereignty over P. Sipadan and P. Ligitan”. Special Agreement itu kemudian disampaikan secara resmi ke Mahkamah International pada 2 Nopember 1998. Dengan itu proses ligitasi P. Sipadan dan P. Ligitan di MI/ICJ mulai berlangsung. Selanjutnya penjelasan dua pulau tersebut sepenuhnya berada di tangan RI.
Namun demikian kedua negara masih memiliki kewajiban menyampaikan posisi masing-masing melalui “ Written pleading “ kepada Mahkamah Memorial pada 2 Nopember 1999 diikuti, “Counter Memorial” pada 2 Agustus 2000 dan “reply” pada 2 Maret 2001. Selanjutnya proses “Oral hearing” dari kedua negara bersengketa pada 3 –12 Juni 2002 . Dalam menghadapi dan menyiapkan materi tersebut diatas Indonesia membentuk satuan tugas khusus (SATGASSUS) yang terdiri dari berbagai institusi terkait yaitu : Deplu, Depdagri, Dephan, Mabes TNI, Dep. Energi dan SDM, Dishidros TNI AL, Bupati Nunukan, pakar kelautan dan pakar hukum laut International.
Indonesia mengangkat “co agent” RI di MI/ICJ yaitu Dirjen Pol Deplu, dan Dubes RI untuk Belanda. Indonesia juga mengangkat Tim Penasehat Hukum Internationl (International Counsels). Hal yang sama juga dilakukan pihak Malaysia. Proses hukum di MI/ICJ ini memakan waktu kurang lebih 3 tahun. Selain itu, cukup banyak energi dan dana telah dikeluarkan. Menlu Hassas Wirayuda mengatakan kurang lebih Rp. 16.000.000.000 dana telah dikeluarkan yang sebagian besar untuk membayar pengacara. Dengan demikian tidak tepat bila dikatakan pihak Indonesia tidak serius memperjuangkan P. Sipadan dan P. Ligitan.
0 komentar:
Posting Komentar