REVITALISASI KESEHATAN EKOSISTEM LAHAN KRITIS DENGAN MEMANFAATKAN PUPUK BIOLOGIS MIKORIZA DALAM PERCEPATAN PENGEMBANGAN PERTANIAN EKOLOGIS DI INDONESIA

Revitalisasi kesehatan ekosistem lahan kritis dengan memanfaatkan pupuk biologis mikoriza dalam percepatan pengembangan pertanian ekologis di indonesia 

1. PENDAHULUAN
Tekanan pada ekosistem tanah di Indonesia akan terus meningkat sejalan dengan perkembangan jumlah penduduk. Jumlah penduduk di Indonesia diproyeksikan pada tahun 2020 akan mencapai 262 juta jiwa, sehingga sektor pertanian dipacu meningkatkan produksi dan produktivitas berbagai komoditi pertanian (pangan, hortikultura, perkebunan, dan lain-lainnya) baik melalui program intensifikasi maupun ekstensifikasi. Keharusan memacu peningkatan produktivitas semakin penting karena peningkatan jumlah penduduk selalu disertai dengan berkurangnya areal pertanian. Di sisi lain, kegiatan penebangan hutan dan konversi lahan hutan menjadi lahan pertanian, dan aktivitas pertambangan (batu bara, emas, timah dan lain-lainnya) yang terus berkembang menyebabkan terjadinya degradasi kualitas tanah (soil quality and soil health) sehingga luas lahan kritis terus bertambah. Data Direktorat Bina Rehabilitasi dan Pengembangan Lahan (1993 dalam Zaini et al., 1996) menunjukkan bahwa luas lahan bermasalah sudah mencapai sekitar 18,4 juta ha (7,5 juta ha potensial kritis, 6,0 juta ha semi kritis dan 4,9 juta ha kritis). Bila diasumsikan laju penggundulan hutan sekitar 2 – 3 juta/ha/tahun dan ditambah dengan lahan bekas tambang (pasca tambang) maka luas lahan kritis di Indonesia saat ini diperkirakan sekitar 30 – 40 juta hektar. Keadaan ini akan semakin parah karena konversi lahan ke non pertanian, perusakan hutan (25 ha/menit atau 2 juta/ha/tahun sedangkan reboisasi hanya 300.000 – 500.000 ha/tahun) terus berlanjut. Pemakaian berbagai senyawa xenobiotika (pestisida, fungisida, dan lain-lainnya) untuk mengendalikan berbagai penyakit dan hama tanaman berlangsung intenstif.

Kerusakan yang lebih parah terdapat pada lahan bekas tambang: tanah lapisan atas (top soil) hilang, kemampuan menahan air rendah, dan sangat miskin hara dan kandungan logam berat relatif tinggi. Akibatnya, pertumbuhan dan perkembangan tanaman sangat terhambat sehingga produktivitasnya sangat rendah. Demikian pula revegetasi pada lahan bekas tambang sering tidak berhasil karena tanaman tidak dapat tumbuh dengan baik (akar keracunan, hara tidak tersedia, cekaman air, dan lain-lainnya). Konsekuensinya, diperlukan input yang relatif besar (pupuk buatan dan organik, berbagai senyawa kimia untuk mengendalikan hama dan penyakit, sarana dan prasarana untuk menjamin ketersediaan air bagi tanaman) untuk memperbaiki kualitas atau menyehatkan ekosistem tanah agar dapat mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman. 

Hal ini juga diperburuk oleh pemupukan yang masih berorientasi pada eksploitasi sumber daya hara dalam tanah (input<<output) sehingga terjadi proses pemiskinan. Kondisi saat ini memperlihatkan bahwa proses pemiskinan tanah (over eksploitasi) berjalan relatif cepat (pasokan hara masih terfokus pada hara N, P dan K saja). Selain itu, kehilangan lapisan olah melalui erosi diperkirakan setidak-tidaknya sekitar 8 – 12 t/ha/tahun (di Amerika hanya sekitar 0,7 t/ha/tahun). Kerugian akibat terjadinya penurunan produktivitas lahan di Pulau Jawa diperkirakan sekitar US$ 139,8 juta (Strutt, 1998). Tingginya tingkat erosi tersebut selain mengakibatkan kehilangan nutrisi dalam jumlah yang besar juga mengakibatkan terjadinya pendangkalan pada ekosistem perairan (sungai, waduk, danau, dan lain-lain) serta mengganggu jaringan irigasi dan menimbulkan bahaya banjir secara signifikan. 

Hasil evaluasi pada kesehatan tanah dengan menggunakan indikator (kandungan bahan organik < 2%, pH masam, erosi tinggi, keanekaragaman hayati terganggu, dan lain-lainnya) mengindikasikan bahwa ekosistem tanah di Indonesia termasuk sakit berat. Pertanian dan kegiatan lainnya yang tidak ramah lingkungan akan mengganggu ekosistem alami (pemutusan rantai makanan), mencemari ekosistem tanah dan air serta meningkatkan bahaya adanya efek residu dalam produk pertanian. Selain itu, ditengarai berbagai limbah industri tanpa pengolahan dibuang ke perairan/sungai, sehingga perairan tersebut mengalami pencemaran yang cukup berat. Demikian pula halnya, berbagai limbah padat dari instalasi pengolahan air limbah (IPAL) di perkotaan atau industri lainnya yang mengandung logam berat dalam jumlah yang relatif besar sering digunakan pada areal pertanian sebagai amelioran (Simarmata, 2004; Simarmata et al., 2004). Akibatnya, dapat menimbulkan bahaya akumulasi logam berat pada rantai makanan/konsumen (Alloway, 1995; Pankhurst et al., 1997).

Upaya untuk mengembalikan (revitalisasi) dan mempertahankan keberlanjutan ekosistem pertanian dapat dilakukan dengan sistem pertanian ramah lingkungan (pertanian ekologis). Prinsip dasar dalam pertanian ekologis adalah menjaga keselarasan/keharmonisan atau interrelasi diantara komponen ekosistem (manusia, hewan, tanaman dan sumber daya alam) secara berkesinambungan dan lestari. Konsep pertanian berbasis ekologi telah berkembang pesat sejalan meningkatnya taraf hidup dan kesadaran lingkungan. Sistem pertanian ekologis (sustainable agriculture) yang dikembangkan antara lain adalah LISA (low input sustainable agriculture), LEISA (low external input sustainable agriculture), pertanian ekologis terpadu (integrated ecological farming system) dan pertanian organik (organic farming system) (Simarmata, et al., 2002; 2004).

Pengembangan pertanian ekologis tersebut ditunjang oleh kemajuan dalam bidang bioteknologi tanah yang ramah lingkungan, yaitu pemanfaatan pupuk hayati (biofertilizers) dan teknologi pupuk organik. Pupuk hayati memberikan alternatif yang tepat untuk memperbaiki, dan mempertahankan kualitas tanah sehingga mampu meningkatkan pertumbuhan dan menaikkan hasil maupun kualitas berbagai tanaman (tanaman pangan, sayuran, perkebunan dan kehutanan) secara signifikan. Pemanfaatan pupuk hayati (biofertilzers), yaitu bakteri penambat N, mikroba pelarut fosfat, mikoriza dan rhizobakteria lainnya seperti plant growth promoting rhizobacteria (PGPR) memberikan hasil yang cukup menggembirakan. Selain dapat meningkatkan pertumbuhan, hasil dan kualitas tanaman (10 – 100 % atau lebih) PGPR juga mengandung mikroba yang dapat menekan pertumbuhan patogen akar dan meningkatkan toleransi akar tanaman terhadap bahaya keracunan dari berbagai logam berat (Hildebrant dan Bothe, 2002; Simarmata dan Danapriatna, 1996; Simarmata dan Herdiani, 2004; Simarmata, 2004; Al-Karaki dan McMichael, 2004; Rohyadi et al., 2004). Penggunaan mikoriza telah terbukti mampu meningkatkan pertumbuhan dan kualitas tanaman kehutanan (revegetasi) pada lahan bekas tambang maupun lahan kritis dengan signifikan (Setiadi, 2004). Selain itu, ektomikoriza yang dapat dikonsumsi potensial untuk digunakan pada tanaman kehutanan. Oleh karena itu, pemanfaatan mikoriza dalam revitaliasi kesehatan ekosistem tanah merupakan solusi yang tepat untuk mempercepat pengembangan pertanian ekologis (ramah lingkungan) di Indonesia.

2. KESEHATAN TANAH DAN Pupuk Hayati
1. Kesehatan Ekosistem Tanah
Istilah kualitas tanah (soil quality) dan kesehatan tanah (soil health) seringkali digunakan secara bersamaan atau bergantian. Para pakar menggunakan istilah kualitas tanah, sedangkan para pengguna lebih sering menggunakan istilah kesehatan tanah. Kualitas tanah adalah kemampuan tanah untuk melakukan dan mempertahankan berbagai fungsi tanah (Soil quality is the ability of soils to perform various intrinsic and extrinsic function). Oleh karena itu kualitas tanah merupakan integrasi sifat fisik, kimia dan biologi untuk menyediakan media tumbuh bagi tanaman dan aktivitas biologis, mengendalikan partisi aliran air dan retensi air, serta berperan sebagai penyangga dan filter terhadap degradasi senyawa xenobiotika atau kontaminan yang membahayakan lingkungan. Adapun kesehatan tanah diartikan sebagai kemampuan tanah dalam mempertahankan fungsi tanah sebagai sistem hidup yang vital dan dinamis dalam ekosistem untuk mempertahankan produktivitas biologis dan kualitas air serta kesehatan tanaman, hewan maupun manusia secara berkelanjutan (soil health is the continued capacity of soil to function as vital living system, within ecosystem and land use boundaries, to sustain biological productivity and maintain their water quality and as well as plant, animal and human health). Oleh karena itu, kesehatan tanah merupakan cerminan bahwa tanah adalah sistem hidup yang dinamis. 

Karakteristik tanah yang sehat (healthy soils) antara lain adalah:
  • Mampu mempertahankan keanekaragaman hayati dan rantai makanan (biodiversity and food web) dan produktivitas tanah
  • Mampu mempertahankan fungsi tanah sebagai media tumbuh tanaman maupun organisme tanah 
  • Mampu meregulasi partisi aliran air dan zat terlarut
  • Berperan sebagai filter dan penyangga polutan
  • Berperan dalam menyimpan dan mendaurulang hara
Ekosistem tanah yang sehat dan subur (healthy soils) mencerminkan adanya interaksi harmonis, baik antara komponen abiotik dengan biotik, maupun sesama komponen biotik membentuk suatu rangkaian aliran energi atau rantai makanan. Komponen biotik dari suatu ekosistem dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu: 
  • produsen: organisme (tumbuhan dan mikroba) yang mampu memanfaatkan sinar matahari sebagai sumber energi dan CO2 sebagai sumber karbon melalui proses fotosintesis untuk menghasilkan biomassa organik (perubahan energi magnetik menjadi energi kimia yang disimpan dalam ikatan senyawa hidro karbon atau senyawa organik), 
  • konsumen: organisme yang mengkonsumsi senyawa organik untuk memenuhi kebutuhan energinya, dan 
  • destruen atau pengurai (dekomposer): mikroba yang merombak senyawa organik yang sudah mati (tanaman, hewan, limbah organik dari perkotaan maupun industri) untuk mendapatkan energi dan nutrisi melalui proses respirasi atau fermentasi. Melalui proses fermetasi ini dihasilkan energi, berbagai produk antara (metabolit) dan mineral (hara makro dan hara mikro). Mineral yang dilepaskan dari proses penguraian (mineralisasi) digunakan oleh tanaman sebagai sumber hara dalam bentuk ion (kation dan anion).
Dari perspektif tanaman, tanah merupakan tempat terjadinya proses konversi hara yang terikat dalam senyawa organik maupun anorganik menjadi hara tersedia atau yang dapat diserap oleh tanaman. Hal ini berarti bahwa tanah merupakan bagian pencernaan eksternal dari tanaman. Konsenkuensinya, kemampuan tanah untuk mendukung pertumbuhan tanaman sangat tergantung pada kualitas dan kesehatan tanah, dan keanekaragaman hayati. Penggunaan berbagai bahan kimia (pestisida) menyebabkan terputusnya aliran energi dan keseimbangan ekosistem alami yang menguntungkan tanaman. Oleh karena itu, manajemen input dalam pertanian organik diarahkan untuk mempertahankan dan meningkatkan biodiversitas yang menguntungkan tanaman sehingga tanah sebagai pencernaan eksternal tanaman berfungsi dengan baik. Kunci utamanya terletak pada pasokan bahan organik tanah sebagai entry point of energy into the soil, dan konservasi tanah dan air.

2. Pupuk Hayati dan Mikoriza
Pupuk hayati (biofertilizers) adalah pemanfaatan inokulan yang mengandung sel hidup atau dorman untuk meningkatkan ketersediaan hara dan pertumbuhan tanaman. Berdasarkan pengertian ini, yang termasuk pupuk hayati antara lain adalah mikroba penambat N baik simbiotik maupun non simbiotik, mikroba pelarut fosfat, mikroba panghasil fitohormon dan cendawan mikoriza (Subra Rao, 1982; Arora, 1988; Sharma et al., 2004; Simarmata, et al., 2005). 

Mikoriza adalah bentuk asosiasi mutualistik antara perakaran tanaman tingkat tinggi dengan cendawan tanah (Basidiomycetes, Ascomycetes dan Zygomycetes). Tanaman inang memperoleh berbagai nutrisi, air, proteksi biologis dan lain-lainnya, sedangkan cendawan memperoleh fotosintat sebagai sumber karbon. Asosiasi mutualistik ini merupakan interaksi antara tanaman inang, cendawan dan faktor tanah. Mikoriza berasosiasi dengan sekitar 80 – 90 % jenis tanaman yang tersebar di daerah artik sampai ke daerah tropis dan dari daerah bergurun pasir sampai ke hutan (Brundrett, 1999; Marx, 2004).

Berdasarkan struktur tubuh dan cara infeksi terhadap tanaman inang, mikoriza dapat digolongkan menjadi 6 kelompok besar (tipe), yaitu :
  • Endomikoriza, yaitu asosiasi cendawan dari Zygomecetes (Glomales) yang membentuk vesikula dan arbuskula di dalam sel akar (VAM = vesicular-arbuscular mycorrhiza), atau cendawan mikoriza arbuskula (CMA). Jaringan hifa masuk ke dalam sel kortek akar dan membentuk struktur yang khas berbentuk oval yang disebut vesicle dan sistem percabangan hifa yang disebut arbuscule, sehingga endomikoriza disebut juga vesicular-arbuscular micorrhizae (VAM) atau (arbuscular mycorrhiza fungi = AMF), dan spora dibentuk di dalam tanah atau akar.
  • Ektomikoriza (ECM), yaitu asosiasi cendawan dari Basiodiomycetes dan jamur lainnya yang membentuk jaringan hifa seperti mantel pada akar lateral (hartig net). Jaringan hifa tidak sampai masuk ke dalam sel, tetapi berkembang di antara sel kortek akar. Sangat banyak dijumpai pada tanaman-tanaman kehutanan (Angiospermae dan Gymonspermae). Tubuh buah (sporocarps) ECM banyak yang dapat dikomsumsi.
  • Ektendo-, arbutoid-, dan monotropoid mikoriza, yaitu asoasiasi yang mirip dengan ektomikoriza atau peralihan dari kedua bentuk di atas.
  • Mikroriza Anggrek (Orchid mycorrhiza), yaitu membentuk gulungan hifa di dalam akar atau batang tanaman Famili Orchidaceae.
  • MIkoriza Ericoid (Ericoid mycorrhizas), yaitu mikoriza yang memiliki gulungan hifa pada bagian sel terluar dari bulu-bulu akar tanaman ordo Ericales.
  • Asosiasi mikoriza pada tanaman Lily (Thysanotus) yang jaringan hifa hanya tumbuh di dalam sel epidermis.
Penyebaran yang luas dari pupuk hayati mikoriza pada berbagai tanaman menjadikannnya unggulan dalam revitalisasi ekosistem tanah dan pertanian berbasis lingkungan (pertanian ekologis).

3. KONTRIBUSI MIKRORIZA DALAM PENYEHATAN EKOSISTEM DAN PERTANIAN EKOLOGIS
1. Mikoriza dan Pertumbuhan Tanaman
Tanaman sebagai mahluk memiliki sistem pengolahan makanan (pencernaan) internal dan eksternal. Pada sistem pencernaan eksternal tanaman memerlukan batuan berbagai organisme tanah dan enzim tanah untuk mengubah bentuk hara (nutrisi) dalam bentuk senyawa tidak tersedia menjadi bentuk yang dapat diserap tanaman. Selain itu tanaman membentuk berbagai kerjasama (simbiosis) dalam tanah untuk meningkatkan ketersediaan berbagai macam faktor tumbuh dan perbaikan lingkungan tumbuh. Interaksi antara cendawan mikoriza dengan tanaman inangnya bersifat mutualistis, yaitu saling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Asosiasi ini memberi manfaat yang sangat besar bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara tidak langsung, cendawan mikoriza berperan dalam perbaikan struktur tanah, serta meningkatkan kelarutan hara dan proses pelapukan bahan induk. Sedangkan secara langsung, cendawan mikoriza dapat meningkatkan serapan air dan hara, serta melindungi tanaman dari patogen akar dan unsur toksik (Brundett et al., 1996; Brundrett, 1999; Auge, 2004; Goicoechea, et al., 2005). Kontribusi mikoriza dalam mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan zona eksploitasi perakaran hingga 10 - 20 kali sehingga suplai hara bagi tanaman meningkat dengan signifikan.
2. Memperluas bidang kontak perakaran dan meningkatkan kemampuan menyerap hara dan air di dalam tanah dengan signifikan
3. Meningkatkan kelarutan dan ketersediaan hara, khususnya hara yang tidak atau sukar larut dalam tanah (P) sehingga tersedia bagi tanaman. Akar bermikoriza pada lahan masam mampu mensuplai hara tanaman dengan baik sehingga pertumbuhan tanaman lebih baik
4. Kolonisasi mikoriza (CMA atau Ektomikoriza) pada akar berperan sebagai penghalang biologi (bioprotection) terhadap infeksi patogen akar (jamur dan nematoda). 
5. Meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kekeringan dan kelembaban yang ekstrim (cekaman air). Hifa mikoriza mampu menembus pori mikro dan mengambil air walaupun dalam jumlah yang relatif sedikit
6. Meningkatkan produksi fitohormon dan zat pengatur tumbuh lainnya seperti auksin, sitokinin dan giberelin di rizosfir. 
7. Mikoriza dapat mengubah arsitektur perakaran sehingga lebih efisien dalam memanfaatkan berbagai faktor tumbuh 
8. Jaringan hifa pada perakaran meningkatkan ketahanan tanaman dan adaptasi terhadap perubahan lingkungan tumbuh sehingga tanaman tumbuh lebih baik
9. Meningkatkan toleransi tanaman terhadap senyawa atau unsur logam berat dalam tanah
10. Berperan dalam transformasi unsur hara (proses biogeokemia) di dalam tanah, yaitu melalui proses mineralisasi maupun dekomposisi berbagai senyawa organik.

Keefektifan mikoriza tersebut tentu berkaitan erat dengan berbagai faktor lingkungan tanah abiotik (konsentrasi hara, pH, kadar air, temperatur, pengolahan tanah dan penggunaan pupuk/pestisida) dan faktor biotik (interaksi mikroba, spesies cendawan, tanaman inang, tipe perakaran tanaman inang, dan kompetisi antar cendawan mikoriza). Hasil berbagai kajian menunjukkan banyak tanaman yang tidak dapat tumbuh dan berkembang tanpa kehadiran mikoriza. Berdasarkan ketergantungan terhadap mikoriza, tanaman dikelompokkan menjadi: (1) Tanaman obligat bermikoriza (obligatorily micorrhizal plants), (2) Tanaman fakultatif bermikoriza (Facultatively mycorrhizal plants), dan (3) Tanaman nonmikoriza (Nonmycorrhizal plants).

2. Mikoriza dan Kesehatan Ekosistem Tanah
Kehadiran mikoriza dalam tanah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perbaikan kualitas, kesehatan tanah dan aliran energi dalam rantai makanan (food web, antara lain sebagai berikut;
1) Perbaikan Struktur Tanah. Jaringan hifa eksternal dari mikoriza memperbaiki dan memantapkan struktur tanah. Sekresi senyawa-senyawa polisakarida, asam organik dan lendir yang dihasilkan mampu mengikat butir-butir primer menjadi agregat mikro ("Organic binding agent") Selanjutnya agregat mikro tersebut melalui proses "mechanical binding action" oleh hifa eksternal akan membentuk agregat makro yang mantap (Brundrett, 1999; Linderman, 1996). Wright dan Uphadhyaya (1998) mengatakan bahwa cendawan VAM mengasilkan senyawa glycoprotein glomalin yang berkorelasi dengan peningkatan kemantapan agregat. Konsentrasi glomalin umumnya lebih tinggi pada tanah-tanah yang tidak diolah dibandingkan dengan yang diolah. Perbaikan struktur tanah tersebut akan meningkatkan aerasi dan laju infiltrasi serta mengurangi erosi tanah sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu, dikatakan bahwa cendawan mikoriza juga simbion bagi tanah.
2) Jaringan hifa berperan penting dalam daur hara dalam tanah dan mencegah terjadinya kehilangan hara dari ekosistem tanah
3) Hifa mikoriza berperan penting dalam mentransfer (relokasi) senyawa hidrokarbon (fotosintat) dari perakaran tanaman kepada organisme tanah (sumber energi dalam rantai makanan dalam tanah)
4) Sporocarps epigeous dan hypogeous sporocarps dari ektomikoriza dan CMA merupakan sumber makanan bagi hewan placental, marsupial dan biota di dalam tanah. 
5) Hifa mikoriza dan tubuh buah (fruits bodies dari ektomikoriza) merupakan sumber makanan bagi berbagai macam fauna tanah
6) Mikoriza memberikan pengaruh yang positif terhadap perkembangan dan pertumbuhan mikroba tanah yang menguntungkan (penambat N dan pelarut fosfat). Mikoriza juga diketahui berinteraksi sinergis dengan bakteri pelarut fosfat atau bakteri pengikat N. Inokulasi bakteri pelarut fosfat (PSB) dan mikoriza dapat meningkatkan serapan P oleh tanaman tomat (Kim et al,1998) dan pada tanaman gandum (Singh dan Kapoor, 1999). Adanya interaksi sinergis antara VAM dan bakteri penambat N2 dilaporkan oleh Azcon dan Al-Atrash (1997) bahwa pembentukan bintil akar meningkat bila tanaman alfalfa diinokulasi dengan Glomus moseae. Sebaliknya kolonisasi oleh jamur mikoriza meningkat bila tanaman kedelai juga diinokulasi dengan bakteri penambat N, B. japonicum
7) Mikoriza berperan penting dalam meningkatkan jumlah karbon yang sangat menentukan kualitas dan kesehatan tanah
8) Jaringan hifa ekternal dari mikoriza akan memperluas bidang serapan air dan hara. Disamping itu ukuran hifa yang lebih halus dari bulu-bulu akar memungkinkan hifa dapat menyusup ke pori-pori tanah yang paling kecil (mikro) sehingga hifa dapat menyerap air pada kondisi kadar air tanah yang sangat rendah. 
9) Keanekaragaman jamur dapat digunakan sebagai indikator kualitas ekosistem tanah
10) Mikoriza dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman melalui perlindungan tanaman dari patogen akar dan unsur toksik. Brundrett (1999) menyatakan bahwa struktur mikoriza dapat berfungsi sebagai pelindung biologi bagi terjadinya patogen akar. Mekanisme perlindungan dapat diterangkan sebagai berikut : 
Selaput hifa (mantel) dapat berfungsi sebagai barier masuknya patogen. 
Mikoriza menggunakan hampir semua kelebihan karbohidrat dan eksudat lainnya, sehingga tercipta lingkungan yang tidak cocok untuk patogen. 
Cendawan mikoriza dapat mengeluarkan antibiotik yang dapat mematikan atau menghambat pertumbuhan patogen. 
Akar tanaman yang sudah diinfeksi cendawan mikoriza, tidak dapat atau sulit diinfeksi oleh cendawan patogen karena fungi patogen tersebut harus berkompetisi dengan mikoriza terlebih dahulu. 

4. Strategi meningkatkan KEefektipan Mikoriza
Mikoriza termasuk pupuk hayati yang obligat simbion, yaitu mutlak memerlukan tanaman inang (makro simbiont) agar dapat hidup dan berkembang. Oleh karena itu, strategi dalam meningkatkan keefektifan mikoriza untuk meningkatkan ketersediaan hara, perbaikan lingkungan tumbuh bagi pertumbuhan tanaman berkaitan erat dengan jenis dan asal inokulan, perakaran tanaman, teknik aplikasi dan rekayasa lingkungan tumbuh.

1. Inokulan Mikoriza
Berdasarkan eksplorasi dan trapping dari berbagai ekosistem telah diketahui jumlah species CMA (VAM) sangat banyak dari ordo Glomales (Morton, 1988), selanjutnya dibagi menjadi subordo berdasarkan kehadiran vesikel, yaitu Glomineae: mempunyai vesikel dan membentuk chlamydospores (thick wall, asexual spore) dan Gigasporineae: tidak memiliki vesikel dalam akar dan membentuk azygospores (spores resembling a zygospore but developing asexually from a subtending hypha resulting in a distinct bulbous attachment). Genus mikoriza yang banyak digunakan sebagai pupuk hayati antara lain adalah Glomus sp, Acaulaspora sp, Gigaspora sp dan Scultellospora sp yang diperoleh dari berbagai tanaman inang pada berbagai ekosistem (tanaman pangan, sayuran, perkebunan dan kehutanan). Sedangkan ektomikoriza yang digunakan di Indonesia adalah Pilolithus arrhizus, dan Scleroderma columnare pada tanaman pinus, kayu putih, dan meranti (Turjaman, et al., 2002). Pemanfaatan ekto mikoriza yang dapat dikomsumsi (edible) sepert Cantharellus dan Scleroderma akan memberikan keuntungan ganda. 

Kendatipun secara umum mikoriza dapat berasosiasi dengan perakaran berbagai tanaman, tetapi keefektifannya juga ditentukan oleh jenis tanaman (kecocokan) dan asal ekosistem inokulan tersebut (tanah masam, salin, lahan bekas tambang, tanah terkontaminiasi logam berat, tandus dan kering, dan lain-lainnya). Oleh karena itu, penggunaan inokulan campuran merupakan solusi yang tepat untuk meningkatkan keberhasilan pupuk hayati. Inokulan mikoriza yang berasal dari ekositem tersebut, jika digunakan kembali pada ekosismtem yang bersangkutan akan lebih adaptif. 

Langkah selanjutnya adalah menguji kecocokan species CMA atau ektomikoriza dengan tanaman inangnya. Mikoriza yang yang berasosiasi dengan baik dengan tanaman inang tersebut selanjutnya diperbanyak secara massal dan digunakan pada ekosistem tersebut.

2. Tanaman Inang dan Sistem Perakaran
Kecocokan mikoriza dengan tanaman inang berkaitan erat dengan sistem perakaran tanaman dan kondisi lingkungan yang merangsang tanaman untuk mengeluarkan eksudat untuk menstimulir pertumbuhan dan perkembangan CMA atau VAM pada akar tanaman. Secara umum, tanaman dengan sistem perakaran yang halus (banyak) kurang responsif terhadap pertumbuhan dan perkembangan mikoriza. Sebaliknya tanaman dengan jumlah akarnya relatif sedikit akarnya akan sangat resposif terhadap mikoriza. Tanaman akan berupaya untuk bekerjasama dengan mikoriza dalam memperluas zona eksploitasi akar untuk mendapatkan nutrisi, air dan senyawa lainnya (Simarmata et al., 2004). 

Ketergantungan pada mikoriza berkaitan erat dengan sistem dan karakteristik perakaran. Oleh karena itu, pemanfatan mikoriza pada tanaman yang mempunyai sistem perakaran yang relatif besar dengan jumlah yang relatif sedikit akan sangat efektif, terutama pada kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan (kering, pH masam, nutrisi kurang tersedia).

3. Ekosistem Tanah 
Ekosistem tanah yang telah sakit (lahan kritis) memiliki berbagai kendala seperti tebal solum tipis, struktur tanah masif, ketersediaan air terbatas, terdapat berbagai senyawa toksis (kelarutan Al tinggi, asam-asam organik, logam berat), kandungan bahan organik rendah pH masam, ketersediaan hara rendah dan berbagai permasalahan lainnya. Revitalisasi kualitas tanah akan berlangsung lebih cepat dengan memanfaatkan mikroza sebagai bioremediator. Artinya, keefektifan mikoriza pada ekosistem marginal tersebut sangat baik sehingga dapat meningkatkan efisiensi usaha tani dan produktivitas tanah dengan teknologi ramah lingkungan. Hasil kajian membuktikan bahwa tanpa inokulasi dengan mikroriza, pertumbuhan tanaman revegetasi pada tanah marginal sangat rendah.

4. Pengujian Biologis (Bioassay)
Untuk mengetahui dosis mikoriza dan kontribusinya pada tanaman (mycorrhizal dependency) dalam suatu ekosistem dapat dilakukan dengan pengujian biologis. Pengujian biologis sangat penting untuk mengetahui apakah dalam tanah sudah terdapat mikoriza atau belum. Jika dalam tanah sudah tersedia, inokulasi dapat ditiadakan, sebaliknya bila dalam tidak tersedia, inokulasi harus dilakukan. Oleh karena itu, pengujian biologis bersifat lokal sehingga perlu dilakukan pada setiap ekosistem secara terencana (by design) untuk mengetahui jenis mikroiza yang paling efektif.

5. Teknik Aplikasi 
Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa keberhasilan pupuk hayati berkaitan erat dengan kemampuannya mengokupasi dan mengkolonisasi akar sedini mungkin. Oleh karena itu, teknik dan waktu aplikasi inokulan sangat menentukan keefektifan mikoriza tersebut. Aplikasi pada persemaian selain mudah dan murah, juga efektif untuk mempercepat dominasi CMA atau EM (ektomikoriza) pada perakaran tanaman. Dalam hal ini perlu diperhatikan kehadiran akar pada saat spora mikoriza bercambah sangat menentukan. Jika spora sudah berkecambah, tetapi akar tanaman belum tumbuh maka dapat menimbulkan kegagalan. Secara umum, penggunaan CMA pada tanaman yang disemaikan lebih dahulu (tanaman kehutanan, perkebunan, buah-buahan dan beberapa tanaman sayuran) relatif murah dan efektif. Sebaliknya, tanaman yang ditanam langsung (umumnya tanaman pangan) dengan jumlah populasi yang relatif besar (> 20.000 tanaman/ha), penggunaan CMA relatif mahal sehingga menjadi kendala dalam penerapannya secara komersial. Jika populasi tanaman 40.000 tanaman/ha dengan dosis yang diperlukan sekitar 10 – 20 gram inokulan/tanaman, maka diperlukan paling tidak sekitar 400 – 800 kg inokulan/ha. Oleh karena itu, perlu dikembangkan teknologi perlakuan benih (seed treatment), yaitu mencampurkan inokulan dengan benih sebelum ditanam sehingga jumlah inokulan dapat dikurang secara signifikan atau hingga kebutuhan hanya sekitar 1- 2 kg/ha. Upaya lain yang dapat dilakukan adalah menyebarkan tanah yang bermikoriza (sebagai inokulan) pada aeral pertanaman. Untuk itu, perlu disediakan lahan dalam luasan tertentu untuk memperbanyak mikroriza di lapangan

6. Rekayasa Lingkungan Tumbuh
Upaya untuk memacu pertumbuhan dan perkembangan mikoriza pada perakaran tanaman dapat dilakukan dengan menciptakan lingkungan tumbuh yang baik bagi perakaran tanaman dan memperbaiki erasi tanah. Mikoriza memperoleh energi (karbon beruapa fotosintat) dan nutrisi lainnya (makro maupun mikro) dari dalam tanah. Oleh karena, pemberian bahan organik dan nutrisi pada awal inokulasi sangat diperlukan untuk memperbaiki kualitas tanah untuk mendukung pertumbuhan tanaman maupun mikroriza. Jika kondisi lingkungan tumbuh yang kurang menguntungkan bagi tanaman seperti kekeringan (water stress) dan tanah berpadas, miskin hara dan lain-lainnya, maka akar tanaman bermikoriza akan mendorong dan merangsang perkembangan dan pertumbuhan mikoriza lebih lanjut.

5. PROSPEK DAN TANTANGAN Pemanfaatan MIKORIZA DALAM REVITALISASI KESEHATAN EKOSISTEM LAHAN KRITIS
Tekanan pada ekosistem tanah di Indonesia akan terus meningkat sejalan laju pembangunan dan pertambahan penduduk untuk menghasilkan berbagai produk pertanian dengan menitikberatkan pada penggunaan pupuk buatan dan berbagai bahan kimia secara intensif. Akibatnya degradasi kualitas tanah dan luas lahan kritis akan terus meningkat dan terjadi gangguan pada ekosistem tanah. Di sisi lain, kesadaran akan produk ramah lingkungan terus berkembang (environmentally friendly products) dalam pasar global.

Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mengembangkan pertanian berbasis ekologi yang berkelanjutan (sustainable agriculture). Kunci utama dalam pertanian ramah lingkungan adalah penggunaaan bahan alami seperti pupuk organik dan pupuk hayati. Pemanfaatan pupuk hayati mikoriza untuk meningkatkan kualitas dan kesehatan ekosistem tersebut, juga sekaligus memberikan nilai ekonomi untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat maupun sumber devisa. 

Hasil berbagai penelitian pada lahan marjinal di Indonesia menunjukkan bahwa aplikasi pupuk biologis seperti Azotobacter sp., mikroba pelarut fosfat (Bacillus sp, Pseudomonas sp, dan lain-lainnya), mikoriza vesikula arbuskula (Glosmus sp., dan Gigaspora sp.) dapat meningkatkan produksi berbagai tanaman (jagung, kedelai, kacang tanah, tomat, padi dan tanaman lainnya) dan ketersediaan hara bagi tanaman antara 20 hingga 100% (Simarmata dan Herdiani, 2004). Aplikasi inokulan campuran (gabungan beberapa mikroba) menguntungkan ternyata dapat meningkatkan hasil berbagai tanaman dengan signifikan (Simarmata, 2004).

Penelitian Ba et al (1999) pada tanah kahat hara menunjukkan bahwa inokulasi ektomikoriza pada bibit tanaman Afzelia africana dapat meningkatkan pertumbuhan bibit dan serapan hara oleh tanaman hutan tersebut. Ternyata tanaman yang dapat tumbuh dan berkembang dengan baik adalah yang bermikoriza. Hasil berbagai penelitian juga membuktikan bahwa tanaman yang bermikoriza terbukti mampu bertahan pada kondisi stres air yang hebat. Morte et al (2000) menunjukkan bahwa tanaman Helianthenum almeriens yang diinokulasi dengan Terfesia claveryi mampu berkembang menyamai tanaman pada kadar air normal yang ditandai berat kering tanaman, net fotosintesis, serta serapan hara NPK. Penelitian lain menunjukkan bahwa tanaman narra (Pterocarpus indicus) (Castillo dan Cruz, 1996) dan pepaya (Cruz et al, 2000) bermikoriza memiliki ketahanan yang lebih besar terhadap kekeringan dibandingkan tanaman tanpa mikoriza yang ditandai dengan kandungan air dalam jaringan dan transpirasi yang lebih besar, meningkatnya tekanan osmotik, terhindar dari plasmolisis, meningkatnya kandungan pati dan kandungan proline (total dan daun) yang lebih rendah selama stress air. 

Hasil berbagai penelitian juga menunjukkan bahwa tanaman bermikoriza pada tanah salin dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. CMA seperti Glomus spp mampu hidup dan berkembang di bawah kondisi salinitas yang tinggi dan mampu meningkatkan hasil (Lozano et al, 2000). Tanaman tomat yang diinokulasi dengan mikoriza memili pertumbuhan lebih baik dibanding dengan tanpa mikoriza dan konsentrasi P dan K rata-rata lebih tinggi sedangkan konsentrasi Na rata-rata lebih rendah dibandingkan dengan tanaman tanpa mikoriza (Al-Kariki, 2000). Hasil penelitian Lozano et al (2000) menunjukkan bahwa Glomus deserticola lebih efektif dari Glomus sp.

Hasil berbagai kajian juga menunjukkan bahwa mikoriza mampu meningkatkan toleransi tanaman terhadap logam beracun dengan melalui akumulasi logam-logam dalam hifa ekstramatrik dan "extrahyphae slime" sehingga mengurangi serapannya ke dalam tanaman inang. Pemanfaatan cendawan mikoriza dalam bioremediasi tanah tercemar, disamping dengan akumulasi bahan tersebut dalam hifa, juga dapat melalui mekanisme pengkomplekan logam tersebut oleh sekresi hifa ekternal (Subiksa, 2002). Oleh karena itu pemanfaatan mikoriza pada ekosistem yang tercemar logam berat, terutama di areal pertambangan (tailing dan sekitarnya) sangat potensial. Pengalaman menunjukkan bahwa kontaminasi tanah dengan logam berat sering menyebabkan kematian bibit dan kegagalan program revegetasi. 

Kajian Aggangan et al. (1997) pada tegakan Eucalyptus menunjukkan bahwa Ni lebih berbahaya dari pada Cr. Gejala keracunan Ni tampak pada konsentrasi 80 µmol/L pada tanah yang tidak dinokulasi dengan mikoriza sedangkan pada tanah yang diinokulasi dengan Pisolithus sp., gejala keracunan terjadi pada konsentrasi 160 µmol/L. Isolat Pisolithus yang diambil dari residu pertambangan Ni jauh lebih tahan terhadap kadar Ni yang tinggi dibandingkan dengan Pisolithus yang diambil dari tegakan eucaliptus yang tidak tercemar logam berat.

Pemanfaatan mikoriza dalam bioremediasi lahan basah yang tercemar oleh limbah industri (polutan organik, sedimen pH tinggi atau rendah pada jalur aliran maupun kolam pengendapan) tanaman semi akuatik seperti Phragmites australis juga memberikan hasil yang menggembirakan. Oliveira et al. (2001) menunjukkan bahwa P. australis dapat berasosiasi dengan cendawan mikoriza melalui pengeringan secara gradual dalam jangka waktu yang pendek. Hal ini dapat dijadikan strategi pengelolaan lahan terpolusi (phytostabilisation) dengan meningkatkan laju perkembangan spesies mikotropik. Kajian Joner dan Leyval (2001), menunjukkan bahwa perlakuan mikoriza pada tanah yang tercemar oleh polysiklik aromatic hydrocarbon (PAH) dari limbah industri berpengaruh terhadap pertumbuhan clover, tapi tidak terhadap pertumbuhan reygrass. Dengan mikoriza laju penurunan hasil clover karena PAH dapat ditekan. Tanaman yang tumbuh pada limbah pertambangan batubara yang diteliti Rani et al (1991) menunjukkan bahwa dari 18 spesies tanaman setempat yang diteliti, 12 diantaranya bermikoriza. Pada tanaman yang berkembang dengan baik di lahan limbah batubara tersebut, ditemukan adanya "oil droplets" dalam vesikel akar mikoriza. Hal ini menunjukkan bahwa ada mekanisme filtrasi, sehingga bahan beracun tersebut tidak sampai diserap oleh tanaman.

Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa pemanfaatan mikoriza merupakan alternatif yang ramah lingkungan untuk memperbaiki kualitas ekosistem tanah yang rusak atau tercemar. Kendala utama yang dihadapi saat ini berkaitan erat dengan ketersediaan inokulan (kualitas dan kuantitas) dan terbatasnya sumber daya manusia yang menguasai teknologi mikoriza. Hingga saat ini waktu yang diperlukan untuk perbanyakan inokulan CMA (obligat simbion) masih relatif lama dan viabilitas inokulan tersebut sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan (suhu dan kelembaban). Selain itu, standarisasi kulitas inokulan CMA masih perlu dikembangkan dan dibakukan. Di lain pihak, sosialisasi (diseminasi) mikoriza hingga ke tingkat petani masih sangat kurang. Oleh karena itu, perlu dikembangkan teknologi lebih lanjut untuk memperoleh inokulan dengan mudah dan mempunyai baku mutu yang baik.

6. KESIMPULAN
1. Kualitas & kesehatan ekosistem tanah di Indonesia menurun secara drastis (lahan kritis terus meningkat) sejalan peningkatkan intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian, kegiatan industri kehutanan dan pertambangan
2. Revitalisasi keberlanjutan ekosistem tanah kritis dan tercemar dengan pengembangan pertanian berbasis ekologis (LISA, LEISA, Pertanian Ekologis Terpadu dan Pertanian Organik) merupakan solusi ramah lingkungan
3. Pupuk Hayati Mikoriza (endomikoriza dan ekto mikoriza) merupakan andalan utama dalam revitalisasi kesehatan ekoisistem tanah untuk meningkatkan pertumbuhan maupun hasil tanaman pada tanah-tanah marjinal di Indonesia
4. Penelitian dan pengembangan, khususnya dalam teknologi inokulan mikoriza perlu diintensifkan untuk menghasilkan inokulan efektif dalam waktu yang singkat dengan harga yang murah. 

, , ,

BACA JUGA

Ditulis Oleh : Unknown // 09.58

0 komentar:

Posting Komentar