Modul Penyusun Sistem Pakar

Definisi
Sistem pakar adalah suatu program komputer yang dirancang untuk mengambil keputusan seperti keputusan yang diambil oleh seorang atau beberapa orang pakar. Menurut Marimin (1992), sistem pakar adalah sistem perangkat lunak komputer yang menggunakan ilmu, fakta, dan teknik berpikir dalam pengambilan keputusan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang biasanya hanya dapat diselesaikan oleh tenaga ahli dalam bidang yang bersangkutan. 

Dalam penyusunannya, sistem pakar mengkombinasikan kaidah-kaidah penarikan kesimpulan (inference rules) dengan basis pengetahuan tertentu yang diberikan oleh satu atau lebih pakar dalam bidang tertentu. Kombinasi dari kedua hal tersebut disimpan dalam komputer, yang selanjutnya digunakan dalam proses pengambilan keputusan untuk penyelesaian masalah tertentu.

Modul Penyusun Sistem Pakar
Suatu sistem pakar disusun oleh tiga modul utama (Staugaard, 1987), yaitu :
1. Modul Penerimaan Pengetahuan Knowledge Acquisition Mode)
Sistem berada pada modul ini, pada saat ia menerima pengetahuan dari pakar. Proses mengumpulkan pengetahuan-pengetahuan yang akan digunakan untuk pengembangan sistem, dilakukan dengan bantuan knowledge engineer. Peran knowledge engineer adalah sebagai penghubung antara suatu sistem pakar dengan pakarnya. 

2. Modul Konsultasi(Consultation Mode)
Pada saat sistem berada pada posisi memberikan jawaban atas permasalahan yang diajukan oleh user, sistem pakar berada dalam modul konsultasi. Pada modul ini, user berinteraksi dengan sistem dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh sistem. 

3. Modul Penjelasan(Explanation Mode)
Modul ini menjelaskan proses pengambilan keputusan oleh sistem (bagaimana suatu keputusan dapat diperoleh). 

Struktur Sistem Pakar
Komponen utama pada struktur sistem pakar (Hu et al, 1987) meliputi:
1. Basis Pengetahuan (Knowledge Base)
Basis pengetahuan merupakan inti dari suatu sistem pakar, yaitu berupa representasi pengetahuan dari pakar. Basis pengetahuan tersusun atas fakta dan kaidah. Fakta adalah informasi tentang objek, peristiwa, atau situasi. Kaidah adalah cara untuk membangkitkan suatu fakta baru dari fakta yang sudah diketahui. Menurut Gondran (1986) dalam Utami (2002), basis pengetahuan merupakan representasi dari seorang pakar, yang kemudian dapat dimasukkan kedalam bahasa pemrograman khusus untuk kecerdasan buatan (misalnya PROLOG atau LISP) atau shell sistem pakar (misalnya EXSYS, PC-PLUS, CRYSTAL, dsb.) 

2. Mesin Inferensi (Inference Engine)
Mesin inferensi berperan sebagai otak dari sistem pakar. Mesin inferensi berfungsi untuk memandu proses penalaran terhadap suatu kondisi, berdasarkan pada basis pengetahuan yang tersedia. Di dalam mesin inferensi terjadi proses untuk memanipulasi dan mengarahkan kaidah, model, dan fakta yang disimpan dalam basis pengetahuan dalam rangka mencapai solusi atau kesimpulan. Dalam prosesnya, mesin inferensi menggunakan strategi penalaran dan strategi pengendalian. 
Strategi penalaran terdiri dari strategi penalaran pasti (Exact Reasoning) dan strategi penalaran tak pasti (Inexact Reasoning). Exact reasoning akan dilakukan jika semua data yang dibutuhkan untuk menarik suatu kesimpulan tersedia, sedangkan inexact reasoning dilakukan pada keadaan sebaliknya.

Strategi pengendalian berfungsi sebagai panduan arah dalam melakukan prose penalaran. Terdapat tiga tehnik pengendalian yang sering digunakan, yaitu forward chaining, backward chaining, dan gabungan dari kedua tehnik pengendalian tersebut. 

3. Basis Data (Database)
Basis data terdiri atas semua fakta yang diperlukan, dimana fakta-fakta tersebut digunakan untuk memenuhi kondisi dari kaidah-kaidah dalam sistem. Basis data menyimpan semua fakta, baik fakta awal pada saat sistem mulai beroperasi, maupun fakta-fakta yang diperoleh pada saat proses penarikan kesimpulan sedang dilaksanakan. Basis data digunakan untuk menyimpan data hasil observasi dan data lain yang dibutuhkan selama pemrosesan. 

4. Antarmuka Pemakai (User Interface)
Fasilitas ini digunakan sebagai perantara komunikasi antara pemakai dengan sistem. Hubungan antar komponen penyusun struktur sistem pakar dapat dilihat pada Gambar di bawah ini : 
Teknik Representasi Pengetahuan
Representasi pengetahuan adalah suatu teknik untuk merepresentasikan basis pengetahuan yang diperoleh ke dalam suatu skema/diagram tertentu sehingga dapat diketahui relasi/keterhubungan antara suatu data dengan data yang lain. Teknik ini membantu knowledge engineer dalam memahami struktur pengetahuan yang akan dibuat sistem pakarnya.

Terdapat beberapa teknik representasi pengetahuan yang biasa digunakan dalam pengembangan suatu sistem pakar, yaitu : 
1. Rule-Based Knowledge
2. Pengetahuan direpresentasikan dalam suatu bentuk fakta (facts) dan aturan (rules). Bentuk representasi ini terdiri atas premise dan kesimpulan
3. Frame-Based Knowledge 
Pengetahuan direpresentasikan dalam suatu bentuk hirarki atau jaringan frame 
4. Object-Based Knowledge
Pengetahuan direpresentasikan sebagai jaringan dari obyek-obyek. Obyek adalah elemen data yang terdiri dari data dan metoda (proses)
5. Case-Base Reasoning
Pengetahuan direpresentasikan dalam bentuk kesimpulan kasus (cases) 

(Untuk mengetahui lebih jelasnya, Anda dapat membaca buku :
  • Management Information System (J.A. O'Brien)
  • McGraw Hill. Arizona.USA. 
  • Decision Support and Expert Systems; Management Support Systems (E. Turban)
  • Prentice Hall. New Jersey.USA. 
  • Buku-buku lain yang membahas tentang Sistem Pakar) 

Sistem pakar adalah sistem yang mempekerjakan pengetahuan manusia yang ditangkap dalam komputer untuk memecahkan masalah yang biasanya membutuhkan keahlian manusia. Adapun komponen-kompenen yang mungkin ada dalam sebuah sistem pakar adalah:

1. Subsistem akuisisi pengetahuan
2. Basis pengetahuan
Basis pengetahuan berisi pengetahuan penting untuk pengertian, formulasi dan pemecahan masalah. Basis pengetahuan memasukkan dua elemen (1) fakta (facts) seperti situasi masalah dan teori dari area masalah dan (2) heuristic khusus atau rule-rule yang menghubungkan penggunaan pengetahuan untuk pemecahan masalah spesifik dalam sebuah domain khusus. Informasi dalam basis pengetahuan tergabung dalam basis pengetahuan tergabung dalam sebuah program komputer oleh proses yang disebut dengan representasi pengetahuan.
3. Mesin inferensi
4. Blackboard (Wilayah kerja)
5. User interface
Sistem pakar berisi bahasa prosesor untuk komunikasi yang bersahabat, berorientasi pada masalah antara pengguna dan komputer. Komunikasi ini dapat secara baik dibawa oleh natural language, dan dalam beberapa kasus user interface ditambahkan dengan menu-menu dan grafik.
6. Subsistem penjelasan
7. Sistem penyaringan pengetahuan

Sedangkan konsep dasar dalam sistem pakar menurut Turban, 1993 adalah: 
1. Keahlian (Expertise)
2. Pakar (Expert)
3. Transfer keahlian
4. Inferensi
5. Rule
6. Kemampuan memberikan penjelasan HYPERLINK 

Akuisisi Pengetahuan 
Akuisisi pengetahuan adalah akumulasi, transfer dan transformasi dari keahlian pemecahan masalah dari beberapa sumber pengetahuan ke program komputer untuk konstruksi atau perluasan basis pengetahuan. Sumber-sumber pengetahuan potensial termasuk pakar manusia, textbook, database, laporan penelitian khusus, dan gambar-gambar.

Pengakuisisian pengetahuan dari pakar adalah tugas kompleks yang sering membuat kemacetan dalam konstruksi sistem pakar sehingga dibutuhkan seorang knowledge engineer untuk berinteraksi dengan satu atau lebih pakar dalam membangun basis pengetahuan. 

PENGERTIAN SEARCH ENGINE OPTIMIZATION

PENGERTIAN SEARCH ENGINE OPTIMIZATION 
Dalam dunia website/weblog sekarang ini, khususnya bagi para publisher dan blogger diperlukan pengetahuan tentang Search Engine Optimization, website/weblog yang telah sobat buat tugas selanjutnya adalah mendaftarkan website/weblog sobat ke mesin pencari Google atau yang lainnya. Sebelum mendaftarkan website/weblog yang telah dibuat; sekarang yang menjadi pertanyaan apa itu search engine optimization, cara kerja dan fungsi suatu search engine.

Pengertian Search Engine
Mesin pencari web atau yang lebih dikenal dengan istilah web search engine merupakan program komputer yang dirancang untuk mencari informasi yang tersedia didalam dunia maya. Berbeda halnya dengan direktori web (seperti dmoz.org) yang dikerjakan oleh manusia untuk mengelompokkan suatu halaman informasi berdasarkan kriteria yang ada, web search engine mengumpulkan informasi yang tersedia secara otomatis. 

Cara Kerja Search Engine
Mesin pencari web bekerja dengan cara menyimpan hampir semua informasi halaman web, yang diambil langsung dari www. Halaman-halaman ini diambil secara otomatis. Isi setiap halaman lalu dianalisis untuk menentukan cara mengindeksnya (misalnya, kata-kata diambil dari judul, subjudul, atau field khusus yang disebut meta tag). Data tentang halaman web disimpan dalam sebuah database indeks untuk digunakan dalam pencarian selanjutnya. Sebagian mesin pencari, seperti Google, menyimpan seluruh atau sebagian halaman sumber (yang disebut cache) maupun informasi tentang halaman web itu sendiri.

Ketika seorang pengguna mengunjungi mesin pencari dan memasukkan query, biasanya dengan memasukkan kata kunci, mesin mencari indeks dan memberikan daftar halaman web yang paling sesuai dengan kriterianya, biasanya disertai ringkasan singkat mengenai judul dokumen dan terkadang sebagian teksnya.

Mesin pencari lain yang menggunakan proses real-time, seperti Orase, tidak menggunakan indeks dalam cara kerjanya. Informasi yang diperlukan mesin tersebut hanya dikumpulkan jika ada pencarian baru. Jika dibandingkan dengan sistem berbasis indeks yang digunakan mesin-mesin seperti Google, sistem real-time ini unggul dalam beberapa hal seperti informasi selalu mutakhir, (hampir) tak ada broken link, dan lebih sedikit sumberdaya sistem yang diperlukan (Google menggunakan hampir 100.000 komputer, Orase hanya satu.). Tetapi, ada juga kelemahannya yaitu pencarian lebih lama rampungnya. 

Komponen utama dalam Search Engine
Sebuah search engine memiliki beberapa komponen agar dapat menyediakan layanan utamanya sebagai sebuah mesin pencari informasi. Komponen tersebut antara lain : 

Web Crawler
Web crawler atau yang dikenal juga dengan istilah web spider bertugas untuk mengumpulkan semua informasi yang ada di dalam halaman web. Web crawler bekerja secara otomatis dengan cara memberikan sejumlah alamat website untuk dikunjungi serta menyimpan semua informasi yang terkandung didalamnya. Setiap kali web crawler mengunjungi sebuah website, maka dia akan mendata semua link yang ada dihalaman yang dikunjunginya itu untuk kemudian di kunjungi lagi satu persatu.

Proses web crawler dalam mengunjungi setiap dokumen web disebut dengan web crawling atau spidering. Beberapa websites, khususnya yang berhubungan dengan pencarian menggunakan proses spidering untuk memperbaharui data data mereka. Web crawler biasa digunakan untuk membuat salinan secara sebhagian atau keseluruhan halaman web yang telah dikunjunginya agar dapat dip roses lebih lanjut oleh system pengindexan. Crawler dapat juga digunakan untuk proses pemeliharaan sebuah website, seperti memvalidasi kode html sebuah web, dan crawler juga digunakan untuk memperoleh data yang khusus seperti mengumpulkan alamat e-mail.

Web crawler termasuk kedalam bagian software agent atau yang lebih dikenal dengan istilah program bot. Secara umum crawler memulai prosesnya dengan memberikan daftar sejumlah alamat website untuk dikunjungi, disebut sebagai seeds. Setiap kali sebuah halaman web dikunjungi, crawler akan mencari alamat yang lain yang terdapat didalamnya dan menambahkan kedalam daftar seeds sebelumnya.

Dalam melakukan prosesnya, web crawler juga mempunyai beberapa persoalan yang harus mampu di atasinya. Permasalahan tersebut mencakup : 
Halaman mana yang harus dikunjungi terlebih dahulu. 
Aturan dalam proses mengunjungi kembali sebuah halaman. 
Performansi, mencakup banyaknya halaman yang harus dikunjungi. 
Aturan dalam setiap kunjungan agar server yang dikunjungi tidak kelebihan beban. 
Kegagalan, mencakup tidak tersedianya halaman yang dikunjungi, server down, timeout, maupun jebakan yang sengaja dibuat oleh webmaster. 
Seberapa jauh kedalaman sebuah website yang akan dikunjungi. 
Hal yang tak kalah pentingnya adalah kemampuan web crawler untuk mengikuti
perkembangan teknologi web, dimana setiap kali teknologi baru muncul, web crawler harus dapat menyesuaikan diri agar dapat mengunjungi halaman web yang menggunakan teknologi baru tersebut.

Proses sebuah web crawler untuk mendata link – link yang terdapat didalam sebuah halaman web menggunakan pendekatan regular expression. Crawler akan menelurusi setiap karakter yang ada untuk menemukan hyperlink tag html (<a>). Setiap hyperlink tag yang ditemukan diperiksa lebih lanjut apakah tag tersebut mengandung atribut nofollow rel, jika tidak ada maka diambil nilai yang terdapat didalam attribute href yang merupakan sebuah link baru. 

Indexing system
Indexing system bertugas untuk menganalisa halaman web yang telah tersimpan sebelumnya dengan cara mengindeks setiap kemungkinan term yang terdapat di dalamnnya. Data term yang ditemukan disimpan dalam sebuah database indeks untuk digunakan dalam pencarian selanjutnya.

Indexing system mengumpulkan, memilah dan menyimpan data untuk memberikan kemudahan dalam pengaksesan informasi secara tepat dan akurat. Proses pengolahan halaman web agar dapat digunakan untuk proses pencarian berikutnya dinakamakan web indexing. Dalam implementasinya index system dirancang dari penggabungan beberapa cabang ilmu antara lain ilmu bahasa, psikologi, matematika, informatika, fisika, dan ilmu komputer.

Tujuan dari penyimpanan data berupa indeks adalah untuk performansi dan kecepatan dalam menemukan informasi yang relevan berdasarkan inputan user. Tanpa adanya indeks, search engine harus melakukan scan terhadap setiap dokumen yang ada didalam database. Hal ini tentu saja akan membutuhkan proses sumber daya yang sangat besar dalam proses komputasi. Sebagai contoh, indeks dari 10.000 dokumen dapat diproses dalam waktu beberapa detik saja, sedangkan penulusuran secara berurutan setiap kata yang terdapat di dalam 10.000 dokumen akan membutuhkan waktu yang berjam lamanya. Tempat tambahan mungkin akan dibutuhkan di dalam computer untuk penyimpanan indeks, tapi hal ini akan terbayar dengan penghematan waktu pada saat pemrosesan pencarian dokumen yang dibutuhkan. 

Search system
Search system inilah yang berhubungan langsung dengan pengguna, meyediakan hasil pencarian informasi yang diinginkan. Ketika seorang pengguna mengunjungi mesin pencari dan memasukkan kata pencarian biasanya dengan beberapa kata kunci, search system akan mencari data dari indeks database, data yang cocok kemudian akan ditampilkan, biasanya disertai ringkasan singkat mengenai judul dokumen dan terkadang sebagian teksnya. 

PENJADWALAN PEMELIHARAAN KOMPONEN KRITIS PADA SISTEM HIDROLIK DAN ENGINE UNIT EXCAVATOR DI DEPARTEMEN TAMBANG

PENJADWALAN PEMELIHARAAN KOMPONEN KRITIS PADA SISTEM HIDROLIK DAN ENGINE UNIT EXCAVATOR DI DEPARTEMEN TAMBANG 
1. Pendahuluan
Seiring meningkatnya kompetisi industri global, keandalan peralatan (equipment reliability) merupakan persyaratan bisnis yang sangat dibutuhkan oleh setiap perusahaan [Campbell, 2001]. Perusahaan yang memiliki peralatan atau mesin yang handal akan mampu melaksanakan operasi atau produksinya secara maksimal. Sehingga target produksi senantiasa dapat dipenuhi dan ditingkatkan dari tahun sebelumnya. 

Nilai keandalan (reliability) dari suatu mesin merupakan ukuran performansi dari suatu sistem. Jika suatu mesin memiliki keandalan yang tinggi (mendekati nilai 1) maka probabilitas kemungkinan mesin atau peralatan tersebut mengalami gangguan/ kerusakan yang jarang. Kondisi tersebut akan tercapai jika unit dioperasikan sesuai prosedur dan dilakukan perawatan pemeliharaan secara periodik. Adanya keputusan yang tepat dalam strategi penggantian komponen terutama penentuan optimasi interval penggantian komponen [Jardine, 1973], akan mampu meningkatkan keandalan sistem dan menjaga mesin senantiasa beroperasi. 

Keandalan sistem harus didukung dengan keandalan setiap komponen yang membentuk suatu sistem tersebut. Oleh karena itu, peningkatan keandalan yang berorientasi pada komponen (component-oriented) akan lebih mudah, lebih cepat, dengan pembiayaan yang lebih efektif untuk mengganti komponen atau memperbaikinya, sehingga mesin kembali dapat beroperasi [Burrows dan David, 2006], sedangkan kerusakan pada komponen tersebut dapat diperbaiki untuk selanjutnya digunakan pada peralatan lainnya yang sesuai di masa mendatang. 

Departemen Tambang PTSP menggunakan mesin dan peralatan berupa alat-alat berat dalam mendukung operasi/produksi setiap harinya. Operasi yang dilakukan adalah menyediakan batu kapur (limestone) sebagai bahan utama produksi semen, yaitu sebesar 95 % dari total volume produksi harian PTSP.

Excavator merupakan alat berat yang digunakan dalam aktivitas penambangan batu kapur yang berfungsi sebagai alat muat batu kapur ke dalam dumptruck di Area I Departemen Tambang PTSP. Penyebab gangguan kerusakan Excavator yang sering terjadi adalah gangguan pada komponen sistem hidrolik dan engine seperti yang dilihat pada gambar 1. Tidak berfungsinya sistem hidrolik dan engine dengan baik akan membuat kinerja Excavator menjadi tidak maksimal. Karena bagian ini merupakan komponen vital yang menyediakan power bagi Excavator saat beroperasi. Peranan penting yang dimiliki oleh sistem hidrolik dan engine dan seringnya frekuensi shutdown excavator yang disebabkan oleh kerusakan pada sistem hidrolik dan engine menyebabkan dibutuhkan perhatian khusus dalam aktivitas pemeliharaan dan perawatan sistem hidrolik dan engine excavator serta penjadwalan yang baik. Sebagian besar tindakan perawatan yang dilakukan terhadap sistem hidrolik dan engine excavator biasanya membutuhkan shutdown (pemberhentian operasi) dari alat berat yang bersangkutan. Keputusan shutdown alat berat tersebut dilakukan melalui perencanaan terlebih dahulu dengan meminta persetujuan dari Biro Pemeliharaan alat berat tambang, khususnya untuk melakukan perawatan preventif. 


Gambar Diagram Pareto Penyebab Shutdown Excavator

(Sumber : Data Pemeliharaan Alat Berat Tambang)
Gambar Grafik perbandingan biaya pemeliharaan excavator Th. 2005
Pada saat ini, Biro Pemeliharaan Alat Berat Tambang sudah memiliki jadwal pemeliharaan alat-alat berat tambang. Namun, kebijakan perawatan preventif yang diterapkan belum mencapai hasil yang optimal. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 2, dimana gambar tersebut menunujukkan masih besarnya biaya pemeliharaan realisasi dibandingkan dengan biaya pemeliharaan rencana yang telah dibuatkan oleh biro pemeliharaan alat berat tambang. Karena masih tingginya biaya yang dikeluarkan untuk penggantian dan perawatan komponen alat berat tersebut. Sehingga perlu dilakukan penelitian yang menjamin keandalan beberapa unit excavator yaitu EH 3, EH 4, dan EH 5 terutama keandalan pada komponen-komponen kritis yang sering mengalami gangguan yaitu komponen-komponen pada sistem hidrolik dan engine agar proses operasi dapat terus berjalan dengan lancar, sementara biaya yang ditimbulkan untuk melakukan perawatan pada komponen unit dapat diminimalkan berdasarkan interval waktu penggantian komponen kritis untuk masing-masing unit. 

2. Metodologi Penelitian 
Metodologi penelitian perlu disusun agar penyelesaian kasus penelitian yang dilakukan lebih terarah. Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar  Skema metodologi penelitian

3. Hasil dan Pembahasan
Pada penelitian ini dilakukan perhitungan untuk mengetahui bagaimana interval inspeksi ban loader dan dump truck sebagai bentuk aktivitas pemeliharaan ban alat berat di Departemen Tambang.

Untuk menentukan keandalan masing-masing unit Excavator dilakukan langkah-langkah sebagai berikut; 
1. Menentukan waktu antar kerusakan masing-masing Excavator
2. Menentukan distribusi kerusakan masing-masing Excavator
3. Menentukan parameter distribusi kerusakan Excavator
4. Menguji kecocokan distribusi kerusakan Excavator
5. Menentukan fungsi keandalan Excavator 

Dengan menggunakan model Age replacement, maka waktu penggantian komponen hidrolik EH 3 dilakukan berdasarkan langkah-langkah berikut;
1. Menentukan biaya penggantian pencegahan kerusakan (/ biaya preventive replacement)
2. Menentukan biaya penggantian kerusakan (/ biaya failure replacement) 
3. Menentukan f(t) atau fungsi kepadatan probabilitas (probability density function) dari waktu kerusakan komponen
4. Menentukan T atau waktu yang dibutuhkan untuk penggantian preventive, nilainya kostan dan diasumsikan selama 1 jam. 
5. Menentukan T atau waktu yang dibutuhkan untuk penggantian kerusakan (failure replacement). 
6. Menentukan ekspektasi total biaya penggantian per satuan waktu C (t) dengan kriteria biaya penggantian minimum 
Kebijakan penggantian adalah melakukan preventive replacement saat peralatan telah mencapai umur spesifik tp, dan tambahan melakukan failure replacement pada saat tertentu. Kebijakan tersebut terdapat dua kemungkinan siklus, yang diilustrasikan pada Gambar 4 dan 5. 

Gambar Kemungkinan Siklus 1 Atau kemungkinan ke dua; 

Gambar Kemungkinan Siklus 2

Pada siklus pertama, umur komponen sesuai dengan waktu perencanaan (tp), yaitu waktu untuk melakukan preventive replacement. Setelah unit beroperasi selang waktu tersebut tidak terdapat adanya kerusakan pada komponen. Sedangkan pada siklus kedua, unit berhenti beroperasi karena terjadinya kerusakan pada komponen, dan dilakukan penggantian kerusakan (failure replacement). Hal tersebut dikarenakan kerusakan komponen tidak dapat ditentukan secara tepat dan dapat terjadi kapan saja (when necessary). 

Ekspektasi total biaya penggantian per unit waktu C (t) adalah ekspektasi total biaya penggantian per siklus dibagi dengan ekspektasi panjang siklus, sebagaimana diformulasikan pada persamaan berikut yaitu;

Ekspektasi panjang siklus dalam hal ini diasumsikan (biaya yang dikeluarkan selang waktu pengoperasian unit), sehingga ekspektasi panjang siklus adalah

(biaya pada siklus preventive replacement x probabilitas pada siklus preventive replacement) + (biaya pada siklus failure replacement x probabilitas pada siklus failure replacement).
Karena, F (t) = 1 – R(t)

Maka ekspektasi total biaya penggantian per siklus diformulasikan sebagai berikut;

Nilai F (t) =
Maka ekspektasi total biaya penggantian per satuan waktu adalah,
Dimana:

1. adalah biaya preventive replacement
2. adalah biaya failure replacement
3. f (t) adalah fungsi kepadatan probabilitas (probability density function) dari waktu kerusakan komponen
4. T adalah waktu yang dibutuhkan untuk penggantian pencegahan
5. T adalah waktu yang dibutuhkan untuk penggantian kerusakan
6. R(t) adalah nilai fungsi reliability dari komponen kritis 
7. M (t) adalah waku rata – rata kerusakan komponen kritis untuk penggantian pada saat (t), nilai MTBF. 

1 Analisis Keandalan Excavator 
Keandalan atau reliability merupakan probabilitas kemampuan unit untuk beroperasi sesuai dengan fungsi yang diinginkan dalam interval waktu tertentu. Semakin tinggi nilai keandalan pada unit (mendekati nilai 1), maka menyatakan kemampuan unit dapat beroperasi dengan baik, begitu juga sebaliknya. 

Keandalan pada excavator dapat ditentukan setelah melakukan perhitungan pada waktu antar kerusakan yang terjadi pada unit. Dalam hal ini, ukuran yang digunakan adalah Mean Time Between Failure (MTBF), yaitu periode rata-rata antar kegagalan (jam) dari suatu unit. Semakin panjang MTBF, maka keandalan semakin baik. Ukuran ini menyatakan bahwa seberapa sering kegagalan terjadi pada suatu unit/ mesin. Penentuan MTBF dilakukan dengan menggunakan konsep ilmu statistika. Sehingga dapat diketahui dengan pasti bagaimana tindakan pemeliharaan yang tepat terhadap kegagalan/ kerusakan pada unit tersebut.

Berdasarkan perhitungan keandalan bahwa excavator yang memiliki tingkat keandalan terendah adalah EH 4. Sedangkan keandalan tertinggi pada EH 3. Dikarenakan unit excavator memiliki konfigurasi sistem yang paralel, maka kerusakan pada salah satu unit tidak akan mempengaruhi unit yang lainnya. 

1 Analisis Keandalan Excavator EH 3
Dari perhitungan didapatkan bahwa rata-rata waktu antar kerusakan pada EH 3 (MTBF) adalah sebesar 266.01 jam. Rata-rata gangguan/ kerusakan sering terjadi selama tahun 2004, yaitu unit telah dioperasikan selama ± 11 tahun (mulai dioperasikan tahun 1993). Sedangkan gangguan kerusakan terendah terjadi selama tahun 2005. 

Distribusi kerusakan EH 3 mengikuti distribusi Weibull dengan nilai parameter α = 187.105 (menyatakan umur), dan β = 1.103 (menyatakan bentuk kurva). Nilai parameter bentuk yang besar dari 1 ini sangat berisiko mengalami kegagalan. Artinya kegagalan semakin meningkat sejalan dengan fungsi waktu t. Nilai keandalan selama unit dioperasikan 24 jam pertama adalah sebesar 0.852. 

Excavator EH 3 memiliki keandalan tertinggi dibandingkan excavator lainnya. Excavator EH 3 dibeli oleh Departemen Tambang PTSP pada tahun 1993, berarti EH 3 sudah beroperasi sampai tahun 2006 ± 13 tahun. Excavator EH 3 pada tahun 2003 overhaul, overhaul dilakukan dalam rangka aktivitas perawatan terhadap excavator EH 3 yang sudah lama beroperasi. Overhaul terhadap excavator EH 3 menyebabkan peningkatan performansi kerjanya. Hal inilah yang menyebabkan nilai keandalan excavator ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan excavator lainnya, walaupun excavator lainnya yaitu EH 4 dan EH 5 lebih baru dibandingkan excavator EH 3 (EH 4 dan EH 5 dibeli pada tahun 1998). 

2 Analisis Keandalan Excavator EH 4
Rata-rata waktu antar kerusakan pada EH 4 (MTBF) diperoleh sebesar 117.576 jam. Rata-rata gangguan/kerusakan sering terjadi selama tahun 2003. Artinya unit telah dioperasikan selama ± 5 tahun (mulai dioperasikan tahun 1998). Sedangkan gangguan kerusakan terendah terjadi selama tahun 2004. 

Distribusi kerusakan EH 4 mengikuti distribusi Weibull. Nilai parameter α = 106.827 (menyatakan umur), dan β = 1.244 (menyatakan bentuk kurva). Selama 12 jam pertama, nilai keandalan unit adalah 0.876, nilai tersebut merupakan nilai terendah dibandingkan dengan unit lainnya. 

Excavator EH 4 memiliki nilai keandalan yang paling rendah dibandingkan excavator lainnya yang beroperasi di area I Departemen Tambang PTSP. Hal ini disebabkan oleh beratnya beban kerja dan lokasi kerja excavator tersebut. Selain itu seringnya overtime yang dilakukan oleh Departemen Tambang PTSP untuk memenuhi target produksinya menyebabkan kerja excavator EH 4 pun dengan sendirinya melebihi jam kerja yang seharusnya berlaku di Departemen Tambang PTSP 12 jam per harinya. Penggunaan komponen lain yaitu komponen EH 3 (EH 3 bisa digunakan karena EH 4 dan EH 3 merupakan excavator yang sama tipenya EX-1800) untuk menggantikan komponen EH 4 yang rusak merupakan hal lain yang menyebabkan rendahnya nilai keandalan EH 4. 

3 Analisis Keandalan Excavator EH 5
Pada perhitungan didapatkan bahwa rata-rata waktu antar kerusakan pada EH 5 (MTBF) adalah sebesar 180.283 jam. Rata-rata gangguan/ kerusakan sering terjadi selama tahun 2004. Artinya unit telah dioperasikan selama ± 6 tahun (mulai dioperasikan tahun 1998). Sedangkan gangguan kerusakan terendah terjadi selama tahun 2005. 

Distribusi kerusakan EH 5 juga mengikuti distribusi Weibull. Nilai parameter α = 163.185 (menyatakan umur), dan β = 1.166 (menyatakan bentuk kurva). Nilai keandalan selama unit dioperasikan 24 jam pertama adalah sebesar 0.795. 

Excavator EH 5 memiliki nilai keandalan yang lebih rendah dibandingkan excavator EH 3 walaupun EH 5 lebih baru jika dibandingkan EH 3. Hal ini disebabkan oleh beratnya beban kerja dan lokasi kerja excavator tersebut. Beratnya beban kerja yang harus dilakukan oleh excavator EH 5 disebabkan oleh EH 5 memiliki kapasitas muat yang paling besar dibandingkan dari excavator lainnya sehingga EH 5 harus bekerja ekstra uuntuk dapat memenuhi target produksi. Selain itu seringnya overtime yang dilakukan oleh Departemen Tambang PTSP untuk memenuhi target produksinya menyebabkan kerja excavator EH 5 pun dengan sendirinya melebihi jam kerja yang seharusnya berlaku di Tambang PTSP yaitu 12 jam per harinya. 

2 Analisis Keandalan Komponen Hidrolik dan Engine Excavator 
Komponen hidrolik dan engine merupakan komponen yang sangat penting dalam melaksanakan operasi excavator , yaitu memuat batu kapur ke dalam dumptruck. Jika komponen tersebut mengalami gangguan kerusakan, maka unit tidak dapat difungsikan sebagaimana mestinya. Penghitungan keandalan masing-masing komponen hidrolik dan engine dilakukan berdasarkan prioritas jumlah kerusakan tertinggi. Tools analysis yang digunakan adalah diagram pareto. 

Komponen hidrolik yang sering mengalami kerusakan pada masing-masing excavator adalah komponen hose, dimana hose yang sering mengalami kerusakan hampir sama yaitu komponen Hose cylinder bucket, Hose cylinder arm, Hose pilot, Hose motor swing. Komponen hidrolik lainnya yang sering mengalami kerusakan adalah komponen O-ring hose. Sedangkan komponen yang sering mengalami kerusakan pada bagian engine adalah komponen fuel filter.

Seringnya kerusakan yang terjadi pada komponen hose apapun jenisnya , komponen fuel filter maupun komponen O-ring hose disebabkan oeh beratnya kerja yang harus dilakukan oleh komponen tersebut. Hose tidak hanya digunakan dalam sistem hidrolik tetapi terkait dengan keseluruhan excavator . Hal-hal yang sering menyebabkan kerusakan komponen hose adalah adanya gesekan sesama hose akibatnya beratnya beban kerja yang dilakukan oleh hose, selanjutnya kerusakan hose juga disebabkan oleh umur hose yang sudah melewati life time yang dianjurkan dari pabrik pembuatnya. Kerusakan komponen fuel filter juga disebabkan oleh beratnya beban kerja yang harus dilakukan oleh komponen tersebut. 

Beratnya beban kerja yang dilakukan oleh komponen hose, fuel filter, dan O-ring hose dan fungsi vital yang dimiliki oleh komponen-komponen tersebut menyebabkan dibutuhkan perhatian khusus dalam pemeliharaan komponen tersebut. Pemeliharaan yang baik terhadap komponen-komponen tersebut akan dapat meningkatkan performansi excavator dan mengurangi terjadinya shut down excavator akibat kerusakan komponen tersebut.

1 Analisis Keandalan Komponen Hidrolik dan Engine EH 3
Komponen kritis hidrolik diantaranya adalah Hose cylinder bucket, Hose cylinder arm, Hose pilot, Hose motor swing, O-ring hose. Sedangkan engine komponen kritisnya adalah fuel filter. Berdasarkan perhitungan didapatkan bahwa distribusi kerusakan komponen-komponen tersebut mengikuti distribusi Weibull dan distribusi Eksponensial. Adapun komponen yang berdistribusi Weibull antara lain Hose pilot, Hose motor swing, O-ring hose dan fuel filter. Nilai parameter Hose pilot α = 672.733, sedangkan nilai parameter β = 0.711. Hose motor swing yang merupakan salah satu komponen kritis sistem hidrolik memiliki parameter α = 387.452, dan β = 0.819. Sedangkan fuel filter parameter α = 434.099, β = 1.107. Sedangkan O-ring hose memiliki nilai α = 1876.887, dan β = 1.367. 

Komponen yang berdistribusi eksponensial adalah Hose cylinder bucket dan Hose cylinder arm. Parameter distribusi adalah λ, dan memiliki nilai 0.0001078 dan 0.0001142. 

Selama selang waktu 360 jam, didapatkan nilai keandalan komponen kritis hidrolik dan engine tertinggi adalah hose cylinder bucket dengan nilai 0.9646. Sedangkan terendah adalah komponen O-ring hose dengan nilai 0.1714. Artinya, komponen ini sangat rentan mengalami kerusakan. Sehingga perlu dipersiapkan alokasi dana untuk penggantian kerusakan komponen.

Seringnya kerusakan yang terjadi pada komponen hose apapun jenisnya disebabkan oeh beratnya kerja yang harus dilakukan oleh hose tersebut. Hose tidak hanya digunakan dalam sistem hidrolik tetapi terkait dengan keseluruhan excavator. Hal-hal yang sering menyebabkan kerusakan komponen hose adalah adanya gesekan sesama hose akibatnya beratnya beban kerja yang dilakukan oleh hose, selanjutnya kerusakan hose juga disebabkan oleh umur hose yang sudah melewati life time yang dianjurkan dari pabrik pembuatnya.

2 Analisis Keandalan Komponen Hidrolik dan Engine EH 4
Komponen kritis hidrolik diantaranya adalah Hose cylinder bucket, Hose pilot, Hose motor swing, O-ring hose. Sedangkan engine komponen kritisnya adalah fuel filter. Berdasarkan perhitungan didapatkan bahwa distribusi kerusakan komponen mengikuti distribusi Weibull dan eksponensial dengan nilai parameter yang bervariasi. Komponen berdistribusi Weibull adalah Hose cylinder bucket, O-ring hose dan fuel filter. Nilai parameter Hose cylinder bucket α = 3557.829, sedangkan nilai parameter β = 1.123. fuel filter parameter α = 220.841, β = 1.294. Sedangkan O-ring hose memiliki nilai α = 941.635, dan β = 0.988. 

Komponen yang berdistribusi eksponensial adalah Hose pilot dan Hose motor swing. Parameter distribusi adalah λ, dan memiliki nilai 0.00037921 dan 0.00032401.

Selama selang waktu 360 jam, didapatkan nilai keandalan komponen kritis tertinggi adalah hose pilot dengan nilai 0.8899. Sedangkan nilai keandalan terendah adalah komponen fuel filter dengan nilai 0.0001. Sehingga perlu dipersiapkan alokasi dana untuk penggantian kerusakan komponen.

Seringnya kerusakan yang terjadi pada komponen hose apapun jenisnya disebabkan oeh beratnya kerja yang harus dilakukan oleh hose tersebut. Hose tidak hanya digunakan dalam sistem hidrolik tetapi terkait dengan keseluruhan excavator. Hal-hal yang sering menyebabkan kerusakan komponen hose adalah adanya gesekan sesama hose akibatnya beratnya beban kerja yang dilakukan oleh hose, selanjutnya kerusakan hose juga disebabkan oleh umur hose yang sudah melewati life time yang dianjurkan dari pabrik pembuatnya.

3 Analisis Keandalan Komponen Hidrolik dan Engine EH 5
Komponen kritis hidrolik diantaranya adalah Hose cylinder bucket, Hose cylinder arm, Hose pilot, Hose motor swing, O-ring hose. Sedangkan engine komponen kritisnya adalah fuel filter. Berdasarkan perhitungan didapatkan bahwa distribusi kerusakan komponen mengikuti distribusi Weibull dan Ekponensial dengan nilai parameter yang bervariasi. Komponen berdistribusi Weibull adalah Hose pilot, O-ring hose dan fuel filter. Parameter Hose pilot α = 1032.25, sedangkan nilai parameter β = 0.749. O-ring hose memiliki nilai α = 1130.86, dan β = 1.294. fuel filter memiliki nilai α = 585.405 dan β = 1.179.

Komponen yang berdistribusi ekponensial adalah Hose cylinder bucket, Hose cylinder arm, dan Hose motor swing. Nilai parameter λ sebesar 0.00064574 , 0.0001895 dan 0.00024549 untuk masing-masing komponen. 

Selama selang waktu 360 jam, didapatkan nilai keandalan komponen kritis hidrolik dan engine tertinggi adalah hose cylinder arm dengan nilai 0.9339. Sedangkan nilai keandalan terendah adalah komponen O-ring hose dengan nilai 0.1659. Sehingga perlu dipersiapkan alokasi dana untuk penggantian kerusakan komponen.

3 Analisis Penjadwalan Penggantian Komponen Kritis Hidrolik dan Engine Excavator 
Penjadwalan penggantian komponen dilakukan pada komponen yang memiliki persentase kerusakan tertinggi. Artinya senantiasa mengalami kegagalan dan akan menyebabkan shutdown excavator yang tinggi, untuk penggantian kerusakan. Tools analysis yang digunakan dalam hal ini adalah diagram pareto. 

Dari pengolahan data yang dilakukan untuk mendapatkan interval penggantian yang optimal dari komponen kritis hidrolik dan engine masing-masing excavator, didapatkan bahwa pada umumnya interval penggantian komponen kritis tersebut tidak sesuai dengan life time yang diberikan oleh pabrik dimana untuk komponen hose life time nya berkisar antara 7000 – 15.000 jam. Komponen hose yang interval penggantiannya kurang dari 7000 jam adalah komponen hose pilot excavator EH 4; hose motor swing (pada unit unit excavator EH 3, EH4, dan EH 5); hose cylinder bucket excavator EH 4; dan hose cylinder arm excavator EH 3, sedangkan komponen yang melewati life time yang dikeluarkan oleh pabrik adalah komponen hose pilot, hose cylinder bucket (pada unit excavator EH 3) dan komponen hose pilot excavator EH 5. Tetapi ada pula komponen yang interval penggantiannya sesuai dengan life time yang dikeluarkan oleh pabrik yaitu komponen hose cylinder bucket dan komponen hose cylinder arm (Pada unit excavator EH 5). Adanya beberapa komponen yang interval penggantiannya tidak sesuai dengan life time komponen yang dikeluarkan oleh pabrik disebabkan oleh seringnya kerusakan komponen diluar perkiraan pabrik akibat beban kerja yang keras dari unit tersebut.

1 Analisis Penjadwalan Penggantian Komponen Kritis Hidrolik dan Engine EH 3
Penjadwalan penggantian komponen kritis hidrolik dan engine EH 3 pada komponen fuel filter, Hose cylinder bucket, Hose cylinder arm, Hose pilot, Hose motor swing, dan O-ring hose. Setelah dilakukan penghitungan maka ekspektasi biaya penggantian komponen hose hidrolik terendah setelah komponen dioperasikan selama 5000 jam kerja mesin, dengan biaya ekspektasi penggantian sebesar Rp 668.67. Sedangkan pada komponen valve check, penggantian dilakukan setelah dioperasikan selama 7000 jam kerja dengan biaya ekspektasi penggantian Rp 557.87. 

Perbaikan kerusakan pada komponen hose hidrolik berlangsung selama 4 jam, dan perbaikan kerusakan pada valve check berlangsung 4.5 jam. Asumsi yang digunakan adalah bahwa saat itu, komponen yang akan diganti dan peralatan perkakas (misalnya kunci-kunci) yang digunakan tersedia sehingga mekanik dapat langsung mengganti komponen yang ada. Dalam hal ini, mekanik diasumsikan selalu siap bekerja pada saat penggantian tiba (motivasi kerja yang tinggi). 

2 Analisis Penjadwalan Kritis Penggantian Komponen Hidrolik dan Engine EH 4
Penjadwalan penggantian komponen kritis hidrolik dan engine EH 4 pada komponen hose Hidrolik dan o-ring hose. Setelah dilakukan penghitungan maka biaya penggantian komponen hose hidrolik terendah setelah komponen dioperasikan selama 10000 jam kerja mesin, dengan biaya ekspektasi penggantian sebesar Rp 461.01. Sedangkan pada komponen o-ring, penggantian dilakukan setelah dioperasikan selama 1000 jam kerja dengan biaya ekspektasi penggantian Rp 443.60. Penggantian yang pendek tersebut dikarenakan komponen o-ring sering mengalami kerusakan akibat frekuensi penggunaan tinggi dengan tekanan yang besar. 

Perbaikan kerusakan pada komponen hose hidrolik berlangsung selama 4.5 jam, dan perbaikan kerusakan pada o-ring berlangsung 4 jam. Asumsi yang digunakan adalah bahwa saat itu, ketersediaan hose dan o-ring yang akan diganti, serta peralatan perkakas (misalnya kunci-kunci) yang digunakan tersedia sehingga mekanik dapat langsung mengganti komponen yang ada. Dalam hal ini, mekanik diasumsikan selalu siap bekerja pada saat penggantian tiba (motivasi kerja yang tinggi).

3 Analisis Penjadwalan Kritis Penggantian Komponen Hidrolik dan Engine EH 5
Penjadwalan penggantian komponen kritis hidrolik dan engine EH 5 dilakukan pada pada komponen hose AS dan pin lift cylinder. Setelah dilakukan penghitungan maka biaya penggantian komponen hose AS terendah setelah komponen dioperasikan selama 10000 jam kerja mesin, dengan biaya ekspektasi penggantian sebesar Rp 763.70. Sedangkan pada komponen pin lift cylinder, penggantian dilakukan setelah dioperasikan 1000 jam kerja dengan biaya ekspektasi penggantian Rp 1737.68. Perbaikan kerusakan pada komponen hose hidrolik berlangsung selama 5 jam, dan perbaikan kerusakan pada pin lift cylinder berlangsung 6 jam.

4. Kesimpulan dan Saran
1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang dilakukan, didapatkan kesimpulan sebagai berikut:
1. Dari plot nilai reliability R(t) komponen untuk nilai t = 96 jam pada setiap excavator. Dari grafik reliability (Gambar 4.2) dapat dilihat bahwa excavator EH 4 merupakan excavator dengan reliability terendah kemudian excavator EH 5 dan excavator EH 3. Excavator (EH 4) memiliki reliability sebesar 0.002, excavator EH 5 memiliki reliability sebesar 0.33 dan excavator EH 3 memiliki reliability sebesar 0.49.
2. Shutdown excavator paling sering disebabkan oleh kerusakan komponen sistem hidrolik dan engine. Komponen Kritis Sistem Hidrolik adalah Hose dan O-ring Hose. Sedangkan Komponen Kritis Engine adalah Fuel Filter. 
3. Distribusi Frekuensi Waktu Antar kerusakan Komponen Kritis sistem hidrolik dan engine terdiri dari dua jenis distribusi yaitu distribusi weibull dan distribusi eksponensial. Komponen kritis yang berdistribusi weibull adalah komponen fuel filter dan O-ring Hose (excavator EH 3, EH 4, EH 5); hose pilot (excavator EH 3, EH 4); hose motor swing excavator EH 3; hose cylinder bucket excavator EH 4. Sedangkan komponen kritis yang berdistribusi eksponensial adalah komponen hose pilot dan hose motor swing (pada unit excavator EH 4); hose motor swing, hose cylinder bucket, dan hose cylinder arm (pada unit excavator EH 5).
4. Interval penggantian maksimum dan minimum sama untuk masing-masing excavator yaitu yang maksimum adalah komponen hose pilot. Dimana interval penggantian untuk excavator EH 3 selama 133 minggu, excavator EH 4 selang penggantian setiap 29 minggu, dan excavator EH 5 setiap 85 minggu. Sedangkan yang paling minumum adalah komponen fuel filter. Dimana interval penggantian untuk excavator EH 3 sebesar 4 minggu, excavator EH 4 selang penggantian setiap 1 minggu, dan excavator EH 5 selang penggantian setiap 3 minggu. 

Saran
Setelah melakukan penelitian pada excavator yang beroperasi pada Area I Penambangan Batu kapur Departemen Tambang PTSP tentang penentuan interval pengantian komponen kritis sistem hidrolik dan engine maka saran yang dapat diberikan adalah :
1. Dengan hasil penelitian ini dapat dilanjutkan penelitian yang lebih luas yaitu dalam hal perencanaan penjadwalan pemesanan komponen agar komponen yang akan diganti dapat tersedia pada saat akan diganti.
2. Pada saat penggantian komponen, dapat dilakukan pemeriksaan untuk komponen yang lain.
1. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menjadwalkan interval penggantian komponen kritis sistem hidrolik dan engine pada masing-masing unit excavator yang beroperasi pada area I Departemen Tambang PTSP. 

Pengenalan Daerah Kerja Penuluhan Pertanian

Pengenalan Daerah Kerja Penuluhan Pertanian
A. Makna Pengenalan Daerah Kerja Penyuluhan
Pada Bab 11 telah dikemukakan bahwa, di dalam pelaksanaan pe-nyuluhan pertanian, seroang penyuluh tidak cukup hanya mengenal masyarakat sasarannya saja, tetapi juga harus mengenal beragam kekuatan yang mempengaruhi proses perubahan, baik yang menyang­kut:lingkungan fisik,lingkungansosial, dll. Selaras dengan itu, salah satu tugas yang harus dilakukan oleh setiap penyuluh melaksana-kan penyuluhan adalah: pengenalan daerah kerja penyuluhan.

Bagi seorang penyuluh, pengenalan daerah kerja sebelum melak-sanakan tugasnya tidak hanya penting baginya, tetapi justru merupa-kan persyaratan mutlak. Sebab, hanya dengan mengenal daerah kerja dia akan dapat memahami:
  • Keadaan masyarakat yang akan menjadi sasaran penyuluhannya,
  • Keadaan lingkungan fisik dan sosial masyarakat sasarannya,
  • Masalah-masalah yang pernah, sedang, dan akan dihadapi oleh masyarakat sasarannya di masa-masa mendatang,
  • Kendala-kendala yang akan dihadapi untuk melaksanakan penyu-­luhannya, dan
  • Faktor-faktor pendukung dan pelancar kegiatan penyuluhan yang akan dilaksanakannya. 
Melalui pengenalan daerah kerja yang mendalam, seorang penyu-luh tidak hanya akan mengetahui kegiatan usahatani yang dilak-sanakan oleh masyarakat petani yang menjadi penerima manfaat, tetapi melalui pengenalan daerah kerja yang mendalam, seorang penyuluh akan dapat memahami:
1) Keadaan alam tempat petani berusaha tani, berikut faktor-faktor alam lain (pengairan, iklim, bencana alam rutin, keada-an hama penyakit yang biasa mengganggu, dll).
2) Keadaan usahatani, baik komoditi yang diusahakan, teknik budidaya, tingkat produktivitas, dll.
3) Keadaan manusia yang berusahatani, termasuk: kebiasaan-kebiasaannya, kebutuhan dan keinginannya, agama dan nilai-nilai sosial budaya yang dianut dan terus-menerus dijadikan pedoman hidup dan bekerja serta diwariskan dari generasi ke generasi, dll.
4) Keadaan kelembagaan yang akan mempengaruhi kegiatan usahatani dan perilaku petani,
5) Prasarana yang tersedia, yang diperlukan dan dapat dimanfaat­kan oleh petani untuk terus meningkatkan produktivitas dan pendapatan serta keuntungannya.

Lebih lanjut, melalui pengenalan daerah kerja yang mendalam, dia akan dapat melihat:
  • Peluang peran bantuan yang dapat dilakukan untuk memperbaiki mutu hidup masyarakat sasarannya,
  • Memilih peluang peran bantuan yang paling tepat (mudah, murah, dan benar-benar bermanfaat),
  • Sumberdaya yang tersedia dan dapat dimanfaatkan untuk pelak­sanaan kegiatan penyuluhan yang direncanakan. 
Oleh sebab itu, tanpa pengenalan daerah kerja yang baik, bukan saja akan menyulitkan penyuluh untuk menyusun programa dan kalender kerja penyuluhan yang akan dilakukan, tetapi sekaligus juga akan menyulitkan pelaksanaan kegiatan penyuluhan yang telah berhasil direncanakan.

Hal ini disebabkan karena, data/informasi atau gambaran ten-tang situasi yang diperoleh berdasarkan pengamatan sekilas atau ber- dasarkan data sekunder yang tersedia, seringkali tidak selalu dapat dipercaya sebagai data yang menggambarkan keadaan wilayah kerja yang sesungguhnya. Sehingga, masalah yang terlihat mungkin bukan menjadi masalah utama. Tetapi masalah utama atau kunci perma-salahannyaa seringkali justru tidak menonjol. Di lain pihak, karena obyek utama dari kegiatan penyuluhan pertanian adalah manusia yang memiliki perasaan, kebutuhan, keinginan, dan harapan-harapan yang selalu berubah-ubah tergantung keadaan (fisik dan sosial) lingkungannya, akan sangatlah sulit bagi seorang penyuluh (jika tanpa pengenalan daerah kerja) untuk melakukan diagnosa atas kebutuhan/keinginan, dan masalah-masalah yang telah dan sedang dihadapi oleh masyarakat sasarannya.

Melalui pengenalan daerah kerja, penyuluh juga akan membia­sakan dirinya sendiri untuk bekerja berdasarkan data atau fakta yang benar-benar diyakini, dan bukan bekerja berdasarkan perki­raan-perkiraan, asumsi-asumsi, atau menurut "kata orang".

B. Lingkup Pengenalan Daerah-kerja Penyuluhan
Lionberger dan Gwin (1982) dengan jeli telah mengungkapkan beragam peubah (variable) yang mempengaruhi perubahan perilaku (masyarakat) manusia demi perbaikan kesejahteraannya seperti yang diharapkan dalam setiap kegiatan pembangunan. 

Di lain pihak, Soedarsono (1970) mengartikan usahatani sebagai proses campur tangan manusia di dalam perkembangan tumbu­han dan atau hewan untuk sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dirinya sendiri, keluarganya, dan masyarakat pada umumnya. Se­dang, pembangunan pertanian diartikan sebagai upaya terus menerus untuk memperbesar campur tangan manusia di dalam perkembangan tumbuh-tumbuhan dan atau hewan agar dapat selalu memperbaiki mutu hidup atau kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Sejalan dengan itu, kegiatan penyuluhan pertanian yang menurut Mosher (1966) merupakan salah satu faktor pelancar pem­bangunan pertanian, setidak-tidaknya perlu memperhatikan:
1) Keadaan faktor-faktor produksi usahatani, yang mencakup:
a) Keadaan lahan, dan faktor-faktor alam lainnya 
b) Keadaan manusia (termasuk sikap, pengetahuan, dan ketrampi­lannya), baik selaku pengelola maupun juru tani,
c) Modal, yang berupa uang dan benda-benda ekonomi yang digu­nakan untuk berlangsungnya proses produksi.

2) Prasyarat pembangunan pertanian (Milikan dan Hapgood, 1972) terutama yang mengenai 
a) Stabilitas politik dan keamanan,
b) Kemauan politi pemerintah untuk membangun pertanian,
c) Tersedianya tenaga administrator dan kader-kader pemba-ngunan pertanian di tingkat lokal. 

3) Syarat-syarat mutlak pembangunan pertanian yang terdiri atas:
a) Teknologi yang selalu berkembang,
b) Pemasaran hasil pertanian,
c) Tersedianya sarana produksi di tingkat lokal,
d) Perangsang berproduksi bagi petani,
e) Pengangkutan. 

4) Syarat-syarat pelancar pembangunan pertanian yang mencakup:
a) Pendidikan untuk pembangunan pertanian,
b) Kerjasama kelompok tani,
c) Kredit produksi,
d) Perencanaan nasional untuk pembangunan pertanian,
e) Perbaikan dan perluasan lahan pertanian.

Bertolak dari pemahaman kegiatan penyuluhan pertanian sebagai upaya untuk memperbaiki usahatani yang dilaksanakan oleh (masya rakat) petani dan kegiatan penyuluhan sebagai faktor pelan­car pembangunan pertanian seperti di atas, maka lingkup pengenalan Daerah-kerja Penyuluhan setidak-tidaknya harus mencakup:
1) Keadaan sumberdaya alam,
2) Keadaan sumberdaya manusia, 
3) Keadaan kelembagaan untuk pembangunan pertanian,
4) Keadaan sarana dan prasarana bagi pembangunan pertanian,
5) Kebijakan pembangunan pertanian,
6) Keadaan pertanian,
7) Organisasi dan adminiftrasi penyuluhan pertanian.

C. Keadaan Sumberdaya alam
Pengenalan tentang keadaan sumberdaya alam, merupakan salah satu tugas yang tidak boleh dilupakan oleh seorang penyuluh pertanian. Sebab, meskipun akhir-akhir ini telah dikenalkan teknologi usahatani mutakhir yang tidak menggunakan tanah sebagai media tempat tumbuhnya tanaman ("hydroponic"), serta teknologi yang dapat mengedalikan faktor-faktor alam lain yang melingkupi­nya (seperti: suhu, kelembaban, dan intensitas penyinaran mata­hari), tetapi bagaimanapun harus diakui bahwa sebagian besar warga masyarakat sasaran penyuluhan pertanian masih hidup di dalam usahatani konvensional yang sangat tergantung kepada kea­daan alam.

Melalui pengenalan keadaan alam yang baik, seorang penyuluh akan dapat melihat keunggulan-keunggulan dan kendala-kendala alami yang dimiliki dann harus dihadapi oleh masyarakat sasaran di wilayah kerjanya. Sebaliknya, tanpa mengenal keadaan alam secara cermat, penerapan inovasi yang disuluhkan seringkali tidak akan berhasil seperti yang diharapkan, atau bahkan akan mengalami kegagalan sama sekali.

Beberapa keadaan sumbedaya alam yang perlu diperhatikan oleh setiap penyuluh pertanian adalah:
1) Lokasi Geografis, yang akan sangat menentukan keragaman komoditi yang diusahakan, sehubungan dengan: keadaan iklim, sifat hujan dan saat-saaat pergantian iklim akan tiba.
Contoh yang paling jelas dari kasus ini adalah, perbedaan antara daerah tropis dan daerah sub tropis.
2) Topogfie wilayah, yang selain membedakan jenis komoditi yang boleh diusahakan sesuai dengang tingkat kemiringan lahan, juga seringkali menentukan pola bertanam berkaitan dengan upaya pelestarian dan konservasi tanah, serta keadaan pengairannya
3) Iklim, termasuk di dalamnya: keadaan hujan, intensitas penyi­naran matahari, suhu, dan kelembaban udara, yang secara bersa­ma-sama akan sangat menentukan pola bertanam, waktu ber-tanam, dan jenis komoditi yang dapat diusahakan dengan mem-berikan produk dan harga jual yang lebih baik.
4) Jenis tanah, berikut sifat-sifat fisika dan kimianya, yang akan menentukan ragam komoditi yang dapat diusahakan mau- pun tingkat produktivitasnya.
5) Bencana alam rutin, yang akan mempengaruhi peluang keber-hasilan komoditi yang diusahakan.
6) Status dan luas pemilian lahan, yang akan menentukan tingkat intensifikasi, produktivitas, dan pendapatannya.
7) Lokasi administratif, karena berkaitan dengan kebijakan pem­bangunan yang ditetapkan maupun sikap pimpinan wilayah terhadap kegiatan pembangunan pertanian di wilayahnya.

Keragaman lokasi administratif (jarak dengan kota) seringkali juga berpengaruh terhadap pola usahatani, ragam komoditi, serta tingkat intensifikasi yang akan mempengaruhi produktivi­tas dan pendapatan yang dapat diharapkan.

D. Keadaan Sumberdaya Manusia
Seperti telah berulangkali dikemukakan dalam Bab-bab terdahulu, penerima manfaat penyuluhan (pertanian) mencakup: manusia-petani sebagai pelaku utama (baik sebagai individu, sebagai juru tani, maupun sebagai pengelola usahatani, maupun sebagai warga masyarakat), tokoh masyarakat (formal dan informal), pengusaha, pedagang, peneliti, seniman, dll. Di samping itu, jika dalam pendekatan lama, modal dan tek­nologi dianggap merupakan variable strategis yang menentukan keberhasilan pembangunan, dalam pendekatan baru justru sumber­daaya manusia (dan lembaga-lembaga sosial) dianggap sebagai yang paling strategis (Hidayat, 1979). 

Karena itu, setiap penyuluh harus benar-benar mengenal karak-teristik setiap warga masyarakat yang akan dijadikan sasaran penyuluhannya, baik secara individual maupun yang tergabung dalam kelompok/organisasi sosial.


Beberapa karakteristik sumberdaya manusia yang perlu diketa­hui oleh setiap penyuluh (pertanian) adalah:
1) Jumlah dan kepadatan penduduk, yang akan menentukan ragam status dan luas rata-rata pemilikan lahan setiap usahatani.
Hal ini penting, karena seperti telah dikemukakan di atas, status dan luas pemilikan lahan ternyata berpengaruh terhadap tingkat intensifikasi, produktivitas dan besarnya pendapatan yang dapat diperoleh petani yang bersangkutan.
2) Keragaman penduduk menurut umur dan jenis kelamin, yang akan menentukan tersedianya tenaga kerja, baik dalam arti jumlah, produktivitas, tingkat partisipasi, maupun alokasi waktu yang disediakan untuk kegiatan usahatani.
3) Besarnya ukuran keluarga, yang mempengaruhi tersedianya tenaga kerja keluarga yang dapat diharapkan untuk membantu kegiatan usahataninya.
4) Tingkat pertumbuhan penduduk, yang akan berpengaruh ter-hadap ragam kegiatan jangka panjang untuk memenuhi kebu-tuhan dan harapan-harapan serta upaya pemecahan masalah-masalah atau tantangan-tantangan di masa depan.
5) Pendidikan penduduk, yang akan berpengaruh terhadap tingkat keinovatifan, kekosmopolitan, serta kemampuannya untuk menerapkan inovasi-inovasi yang akan ditawarkan; serta ber­pengaruh terhadap metoda penyuluhaan yang akan direncanakan.
6) Nilai-nilai sosial budaya, termasuk agama dan kepercayaannya, yang perlu diperhatikan penyuluh berkaitan dengan inovasi yang akan ditawarkan, maupun metoda dan waktu penyuluhan yang akan direncanakan.
Bagi masyarakat Jawa, misalnya, Daldjoeni dan Suyitno (1979) pentingnya penyelamatan penanggalan Jawa dan nilai-nilai pengaturan pola tanam ("Pranoto Mongso"). Sedang di Bali terkenal dengan sistem pengairan lewat "Subak".
7) Mata pencaharian penduduk, yang akan mempengaruhi sikap-nya terhadap upaya-upaya pembangunan pertanian pada khu-susnya, dan tingkat keinovatifan penduduk terhadap setiap inovasi yang akan ditawarkan.
8) Kepatuhan warga masyarakat, baik terhadap hukum dan peraturan, maupun sikapnya terhadap penguasa wilayah (tokoh formal maupun tokoh informal), yang kesemuanya akan mempenga-ruhi sikap warga masyarakat terhadap kebijakaan pemba-ngunan (pertanian) yang harus dilaksanakan.

E. Keadaan Kelembagaan
Seperti telah disinggung, kelembagaan semakin dipandang sebagai variabel yang paling strategis didalam pendekatan baru tentang teori-teori pembangunan (Frey, 1978).

Tentang hal ini, keadaan kelembagaan yang perlu diperhatikan oleh seorang penyuluh mencakup baik kelembagaan ekonomi maupun kelembagaan sosial.
1) Kelembagaan ekonomi, yang meliputi:
a) Lembaga-lembaga pemasaran sarana produksi pertanian, sejak produsen sampai dengan pendistribusiannya di tingkat lokal (petani).
b) Lembaga-lembaga penunjang kegiatan produksi, seperti: lembaga keuangan/perbankan, dan koperasi.
c) Lembaga-lembaga pemasaran produk pertanian, sejak pengo-lahan hasil pertanian, sampai dengan pendistribusiannya kepada konsumen yang membutuhkannya.

2) Kelembagaan sosial, yang mencakup;
a) Kelembagaan sosial yang berkaitan langsung dengan kegiatan usahatani, seperti kelompok tani dan organisasi-organisasi profesi di sektor pertanian, seperti Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI), Perhimpunan Agronomi (PERAGI), Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI) Perhimpunan Entomologi Indo­nesia (PEI), Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI), Perhim­punan Aggerek Indonesia (PAI), dll.
b) Kelembagaan sosial yang berkaitan dengan kesejahteraan keluarga petani dan masyarakat pada umumnhya, seperti: PKK, Dawa-wisma, Karang Taruna, Pramuka Taruna Bumi, dll).
c) Lembaga penelitian dan pengembangan pertanian.
d) Lembaga pendidikan pertanian (kursus, sekolah dan perguruan tinggi).
e) Lembaga swadaya masyarakat (LSM/Lembaga Pengembang-an Swa­daya Masyarakat (LPSM).

F. Keadaan Sarana dan Prasarana Pertanian
Pada percakapan di muka telah disebutkan bahwa, tersedianya sarana produksi di tingkat lokal, pemasaran hasil, dan pengangku­tan merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi untuk berlang­sungnya pembangunan pertanian. Di samping itu, untuk terciptanya suatu struktur masyarakat yang progresif (inovati), Mosher (1969) juga mensyaratkan adanya beragam sarana dan prasarana di setiap lokalitas usahatani maupun didistrik usahatani.

Keadaan beragam sarana dan prasarana yang perlu diperhatikan oleh setiap penyuluh di wilayah kerjanya adalah:
1) Keadaan sarana produksi, yang berupa benih/bibit, pupuk, pestisida/obat-obatan, baik menyangkut penyediaannya yang harus memenuhi persyaratan jumlah dan mutu yang dapat diandal­kan maupun penyalurannya yang tepat waktu.
2) Keadaan sarana pengangkutan, baik untuk pengangkutan sarana produksi, produk yang dihasilkan, maupun pengangkutan tenaga kerja dan peralatan yang diperlukan di setiap lokalitas usa­hatani maupun antar lokalitas usahatani di setiap distrik usaha-tani.
3) Keadaan penyediaan kredit, untuk usahatani dan keperluan lain yang dibutuhkan masyarakatnya
4) Keadaan pasar, baik ragam pasar, jumlah, dan lokasinya.
5) Keadan jalan, baik kelas jalan, dan keadaannya.

G. Kebijakan Pembangunan Pertanian
Salah satu prasyarat dan faktor pelancar pembangunan perta­nian adalah, adanya kebijakan pemerintah untuk pembangunan pertanian di tingkaat nasional, dan penjabarannya oleh aparat pemerintah di tingkat regional dan lokal, serta langkah-langkah pelaksanaan yang telah dimusyawarahkan oleh warga masyarakat setempat.

Tentang hal ini, harus diingat bahwa kegiatan penyuluhan yang dilaksanakan harus selalu mengacu dan merupakan bagian integral yang tidak boleh terlepas bahkan harus mampu memperlan­car pelaksanaan serta tercapainya tujuan-tujuan pembangunan yang telah disepakati di semua aras pelaksanaan pembangunan. Karena itu, setiap penyuluh harus benar-benar memahamai semua kebijakan dan hasil-hasil musyawarah masyarakat yang berkaitan dengan pelaksanaan pembangunan, khususnya pembangunan pertanian.

Tanpa adanya pemahaman yang mendalam tentang kebijakan-kebijakan yang telah disepakati, penyuluh yang bersangkutan akan menghadapi kesulitan dalam merumuskan programa penyuluhannya. Di lain pihak, tanpa adanya pemahaman yang baik terhadap kebijakan dan kesepaka­tan-kesepakatan yang ditetapkan, dikhawatirkan programa penyulu­haan yang dirumuskan akan kurang bermanfaat, berbeda, atau bahkan mungkin bertentangan dengan kebijakan dan kesepakatan yang ada.

Sehubungan dengan itu, beragam kebijakan, peraturan, dan hasil-hasil musyawarah yang harus diperhatikan oleh setiap penyu­luh adalah:
1) Kebijakan pembangunan nasional jangka panjang, khusus-nya yang mengenai tujuan pembangunan, peran pembangunan pertanian, dan tujuan pembangunan pertanian itu sendiri.
2) Kebijakan pembangunan nasional jangka menengah/GBHN, khususnya tentang arah, tujuan, dan langkah kegiatan pemba-ngunan perta­nian.
3) Kebijakan pembangunan regional dan lokal (Daerah Tingkat I/II) khususnya tentang arah, tujuan, dan langkah kegiatan yang akan dilaksanakan.
4) Peraturan-peraturan daerah yang berkaitan dengan pembangunan pertanian.
5) Hasil-hasil musyawarah masyarakat setempat untuk pembangun-an pertanian.

H. Keadaan Pertanian
Pengenalan tentang keadaan pertanian, sebenarnya tidak hanya sekadar untuk mengetahui keadaan faktual tentang pelaksanaan usahatani yang telah dilaksanakan, tetapi sekaligus juga dimak­sud-kan untuk mengetahui keadaan potensial tentang:
1) Keunggulan dan kelemahan-kelemahan dari usahatani yang telah dilaksanakan selama ini.
2) Alternatif-alternatif peran bantuan yang dapat diberikan.
3) Alternatif-alternatif tentang kegiatan penyuluhan yang akan dapat dilaksanakan.

Berkaitan dengan itu, keadaan pertanian yang perlu dipahami oleh setiap penyuluh pertanian adalah:
1) Komoditi yang diusahakan, termasuk ragam komoditi, intensitas penanaman, luas penanaman, luas panen, produksi dan tingkat produktivitasnya per satuan luas.
2) Teknik budaya usahatani, yang meliputi:
a) Pola tanam dan teknik bertanam
b) Sarana produksi yang digunakan, baik: macam, jenis, dosis, jumlah, waktu, dan frekuensi penerapannya.
c) Teknologi yang diterapkan, termasuk peralatan yang diguna­kan.
3) Masalah-masalah rutin, termasuk: bencana alam, eksposi hama, dan keadaan serta perilaku pejabat dll.
4) Pemasaran hasil, termasuk:
a) Lembaga pemasaran yang menangani.
b) Penetapan harga, dan "bargaining position" petani.
c) Bentuk produk yang dipasarkan.
d) Teknologi (panen, pengolahan, standardisasi, penyeragaman,
e) dan pengepakan) yang diterapkan.
f) Sistem pembayaran.
5) Pembeayaan usahatani, termasuk: jumlah dan sumber pembea-yaan.
6) Analisis Pendapatan dan Keuntungan Usahatani.
7) Sistem pengelolaan usahatani, termasuk: penyakapan/cara bagi hasil, dan tingkat komersialitas usahatani yang diterapkan.
8) Tingkat kontribusi usahatani, terhadap pendapatan dan ekonomi keluarga (termasuk peluang kerja bagi tenaga kerja keluarga).

I. Organisasi dan Administrasi Penyuluhan Pertanian 
Pemahaman tentang organisasi dan administrasi penyuluhan perta-nian, juga merupakan salah satu aspek yang tidak boleh dilupa-kan oleh setiap penyuluh pertanian, agar dia dapat melaksana-kan tugasnya sesuai dengan kedudukan (posisi) dan status (peran) yang harus dimainkan demi terwujudnya kerjasama yang selaras dan serasi dengan para penguasa, dengan masyarakatnya, maupun antar sesama penyuluh dan lembaga/aparat penunjang penyuluhan.

Pemahaman tentang organisasi dan administrasi penyuluhan, juga sangat diperlukan agar peran yang dirasakan dan peran yang dilaksanakan/ditunjukkan oleh penyuluh yang bersangkutan dapat sesuai dengan peran yang seharusnya dimainkan dan peran yang diharapkan oleh lingkungannya.

Sehubungan dengan itu, hal-hal yang perlu dipahami oleh setiap penyuluh adalah:
1) Struktur organisasi penyuluhan pertanian, dan kaitannya dalam organisasi pemerintahan.
2) Keterkaitan atau saling hubungan, baik antara sesama penyuluh, antara penyuluh dengan masyarakat ssaran, dan antara penyuluh dengan lembaga/aparat penunjangnya.
3) Rincian kegiatan ("job discription") yang harus dilaksanakan.
4) Hak dan kewajiban, termasuk kemudahan-kemudahan yang disediakan.
5) Jenjang karier, dan jaminan hari tua.

J. Cara Pengenalan Daerah kerja Penyuluhan
Cara pengenalan daerah kerja yang terbaik adalah, sebelum melakukan kegiatannya sebagai seorang penyuluh, sebaiknya melaku­kan pengamatan langsung atau studi orientasi terlebih dahulu. Akan tetapi, cara seperti ini akan memakan waktu yang cukup lama, dan seringkali datanya menjadi kurang akurat. Sebab, yang nampak atau yang didengar, tidak selalu yang sebenarnya; apalagi jika didalam masyarakat sasaran masih berkembang nilai-nilai: ketertu­tupan, kecurigaan, ketidak acuhan, dll.

Untuk itu, hasil pengamatan lapang yang hanya sekilas perlu dilengkapi dan dikaji/dikonfirmasikan dengan:
1) Data sekunder atau keadaan "Monografie Daerah".
2) Informasi dari tokoh-tokoh masyarakat, baik tokoh formal maupun (dan seringkali lebih akurat) dari tokoh-tokoh infor­mal).
3) Kalau ada, hasil studi atau kajian yang pernah dilakukan di wilayah tersebut. Baik yang dilakukan oleh aparat intern maupun oleh "orang luar".
4) Laporan-laporan yang tersedia.
5) Penilaian "orang luar" (atau sesama penyuluh) yang pernah bekerja di wilayah tersebut), yang dapat dipercaya.

Meskipun demikian, setiap penyuluh harus terus-menerus melaku-kan pengamatan dan kajian-kajian atau pengujian-pengujian sendiri untuk selalu memperbaharui dan memperbaiki data "Keadaan Daerah" (monografie) yang telah tersedia. Sebab, untuk pengenalan daerah, terutama yang berkaitan dengan keadaan sosial budaya seringkali harus memerlukan waktu cukup lama, dan seringkali berubah-ubah sesuai dengan keadaan dan lingkungannya. 

REVITALISASI KESEHATAN EKOSISTEM LAHAN KRITIS DENGAN MEMANFAATKAN PUPUK BIOLOGIS MIKORIZA DALAM PERCEPATAN PENGEMBANGAN PERTANIAN EKOLOGIS DI INDONESIA

Revitalisasi kesehatan ekosistem lahan kritis dengan memanfaatkan pupuk biologis mikoriza dalam percepatan pengembangan pertanian ekologis di indonesia 

1. PENDAHULUAN
Tekanan pada ekosistem tanah di Indonesia akan terus meningkat sejalan dengan perkembangan jumlah penduduk. Jumlah penduduk di Indonesia diproyeksikan pada tahun 2020 akan mencapai 262 juta jiwa, sehingga sektor pertanian dipacu meningkatkan produksi dan produktivitas berbagai komoditi pertanian (pangan, hortikultura, perkebunan, dan lain-lainnya) baik melalui program intensifikasi maupun ekstensifikasi. Keharusan memacu peningkatan produktivitas semakin penting karena peningkatan jumlah penduduk selalu disertai dengan berkurangnya areal pertanian. Di sisi lain, kegiatan penebangan hutan dan konversi lahan hutan menjadi lahan pertanian, dan aktivitas pertambangan (batu bara, emas, timah dan lain-lainnya) yang terus berkembang menyebabkan terjadinya degradasi kualitas tanah (soil quality and soil health) sehingga luas lahan kritis terus bertambah. Data Direktorat Bina Rehabilitasi dan Pengembangan Lahan (1993 dalam Zaini et al., 1996) menunjukkan bahwa luas lahan bermasalah sudah mencapai sekitar 18,4 juta ha (7,5 juta ha potensial kritis, 6,0 juta ha semi kritis dan 4,9 juta ha kritis). Bila diasumsikan laju penggundulan hutan sekitar 2 – 3 juta/ha/tahun dan ditambah dengan lahan bekas tambang (pasca tambang) maka luas lahan kritis di Indonesia saat ini diperkirakan sekitar 30 – 40 juta hektar. Keadaan ini akan semakin parah karena konversi lahan ke non pertanian, perusakan hutan (25 ha/menit atau 2 juta/ha/tahun sedangkan reboisasi hanya 300.000 – 500.000 ha/tahun) terus berlanjut. Pemakaian berbagai senyawa xenobiotika (pestisida, fungisida, dan lain-lainnya) untuk mengendalikan berbagai penyakit dan hama tanaman berlangsung intenstif.

Kerusakan yang lebih parah terdapat pada lahan bekas tambang: tanah lapisan atas (top soil) hilang, kemampuan menahan air rendah, dan sangat miskin hara dan kandungan logam berat relatif tinggi. Akibatnya, pertumbuhan dan perkembangan tanaman sangat terhambat sehingga produktivitasnya sangat rendah. Demikian pula revegetasi pada lahan bekas tambang sering tidak berhasil karena tanaman tidak dapat tumbuh dengan baik (akar keracunan, hara tidak tersedia, cekaman air, dan lain-lainnya). Konsekuensinya, diperlukan input yang relatif besar (pupuk buatan dan organik, berbagai senyawa kimia untuk mengendalikan hama dan penyakit, sarana dan prasarana untuk menjamin ketersediaan air bagi tanaman) untuk memperbaiki kualitas atau menyehatkan ekosistem tanah agar dapat mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman. 

Hal ini juga diperburuk oleh pemupukan yang masih berorientasi pada eksploitasi sumber daya hara dalam tanah (input<<output) sehingga terjadi proses pemiskinan. Kondisi saat ini memperlihatkan bahwa proses pemiskinan tanah (over eksploitasi) berjalan relatif cepat (pasokan hara masih terfokus pada hara N, P dan K saja). Selain itu, kehilangan lapisan olah melalui erosi diperkirakan setidak-tidaknya sekitar 8 – 12 t/ha/tahun (di Amerika hanya sekitar 0,7 t/ha/tahun). Kerugian akibat terjadinya penurunan produktivitas lahan di Pulau Jawa diperkirakan sekitar US$ 139,8 juta (Strutt, 1998). Tingginya tingkat erosi tersebut selain mengakibatkan kehilangan nutrisi dalam jumlah yang besar juga mengakibatkan terjadinya pendangkalan pada ekosistem perairan (sungai, waduk, danau, dan lain-lain) serta mengganggu jaringan irigasi dan menimbulkan bahaya banjir secara signifikan. 

Hasil evaluasi pada kesehatan tanah dengan menggunakan indikator (kandungan bahan organik < 2%, pH masam, erosi tinggi, keanekaragaman hayati terganggu, dan lain-lainnya) mengindikasikan bahwa ekosistem tanah di Indonesia termasuk sakit berat. Pertanian dan kegiatan lainnya yang tidak ramah lingkungan akan mengganggu ekosistem alami (pemutusan rantai makanan), mencemari ekosistem tanah dan air serta meningkatkan bahaya adanya efek residu dalam produk pertanian. Selain itu, ditengarai berbagai limbah industri tanpa pengolahan dibuang ke perairan/sungai, sehingga perairan tersebut mengalami pencemaran yang cukup berat. Demikian pula halnya, berbagai limbah padat dari instalasi pengolahan air limbah (IPAL) di perkotaan atau industri lainnya yang mengandung logam berat dalam jumlah yang relatif besar sering digunakan pada areal pertanian sebagai amelioran (Simarmata, 2004; Simarmata et al., 2004). Akibatnya, dapat menimbulkan bahaya akumulasi logam berat pada rantai makanan/konsumen (Alloway, 1995; Pankhurst et al., 1997).

Upaya untuk mengembalikan (revitalisasi) dan mempertahankan keberlanjutan ekosistem pertanian dapat dilakukan dengan sistem pertanian ramah lingkungan (pertanian ekologis). Prinsip dasar dalam pertanian ekologis adalah menjaga keselarasan/keharmonisan atau interrelasi diantara komponen ekosistem (manusia, hewan, tanaman dan sumber daya alam) secara berkesinambungan dan lestari. Konsep pertanian berbasis ekologi telah berkembang pesat sejalan meningkatnya taraf hidup dan kesadaran lingkungan. Sistem pertanian ekologis (sustainable agriculture) yang dikembangkan antara lain adalah LISA (low input sustainable agriculture), LEISA (low external input sustainable agriculture), pertanian ekologis terpadu (integrated ecological farming system) dan pertanian organik (organic farming system) (Simarmata, et al., 2002; 2004).

Pengembangan pertanian ekologis tersebut ditunjang oleh kemajuan dalam bidang bioteknologi tanah yang ramah lingkungan, yaitu pemanfaatan pupuk hayati (biofertilizers) dan teknologi pupuk organik. Pupuk hayati memberikan alternatif yang tepat untuk memperbaiki, dan mempertahankan kualitas tanah sehingga mampu meningkatkan pertumbuhan dan menaikkan hasil maupun kualitas berbagai tanaman (tanaman pangan, sayuran, perkebunan dan kehutanan) secara signifikan. Pemanfaatan pupuk hayati (biofertilzers), yaitu bakteri penambat N, mikroba pelarut fosfat, mikoriza dan rhizobakteria lainnya seperti plant growth promoting rhizobacteria (PGPR) memberikan hasil yang cukup menggembirakan. Selain dapat meningkatkan pertumbuhan, hasil dan kualitas tanaman (10 – 100 % atau lebih) PGPR juga mengandung mikroba yang dapat menekan pertumbuhan patogen akar dan meningkatkan toleransi akar tanaman terhadap bahaya keracunan dari berbagai logam berat (Hildebrant dan Bothe, 2002; Simarmata dan Danapriatna, 1996; Simarmata dan Herdiani, 2004; Simarmata, 2004; Al-Karaki dan McMichael, 2004; Rohyadi et al., 2004). Penggunaan mikoriza telah terbukti mampu meningkatkan pertumbuhan dan kualitas tanaman kehutanan (revegetasi) pada lahan bekas tambang maupun lahan kritis dengan signifikan (Setiadi, 2004). Selain itu, ektomikoriza yang dapat dikonsumsi potensial untuk digunakan pada tanaman kehutanan. Oleh karena itu, pemanfaatan mikoriza dalam revitaliasi kesehatan ekosistem tanah merupakan solusi yang tepat untuk mempercepat pengembangan pertanian ekologis (ramah lingkungan) di Indonesia.

2. KESEHATAN TANAH DAN Pupuk Hayati
1. Kesehatan Ekosistem Tanah
Istilah kualitas tanah (soil quality) dan kesehatan tanah (soil health) seringkali digunakan secara bersamaan atau bergantian. Para pakar menggunakan istilah kualitas tanah, sedangkan para pengguna lebih sering menggunakan istilah kesehatan tanah. Kualitas tanah adalah kemampuan tanah untuk melakukan dan mempertahankan berbagai fungsi tanah (Soil quality is the ability of soils to perform various intrinsic and extrinsic function). Oleh karena itu kualitas tanah merupakan integrasi sifat fisik, kimia dan biologi untuk menyediakan media tumbuh bagi tanaman dan aktivitas biologis, mengendalikan partisi aliran air dan retensi air, serta berperan sebagai penyangga dan filter terhadap degradasi senyawa xenobiotika atau kontaminan yang membahayakan lingkungan. Adapun kesehatan tanah diartikan sebagai kemampuan tanah dalam mempertahankan fungsi tanah sebagai sistem hidup yang vital dan dinamis dalam ekosistem untuk mempertahankan produktivitas biologis dan kualitas air serta kesehatan tanaman, hewan maupun manusia secara berkelanjutan (soil health is the continued capacity of soil to function as vital living system, within ecosystem and land use boundaries, to sustain biological productivity and maintain their water quality and as well as plant, animal and human health). Oleh karena itu, kesehatan tanah merupakan cerminan bahwa tanah adalah sistem hidup yang dinamis. 

Karakteristik tanah yang sehat (healthy soils) antara lain adalah:
  • Mampu mempertahankan keanekaragaman hayati dan rantai makanan (biodiversity and food web) dan produktivitas tanah
  • Mampu mempertahankan fungsi tanah sebagai media tumbuh tanaman maupun organisme tanah 
  • Mampu meregulasi partisi aliran air dan zat terlarut
  • Berperan sebagai filter dan penyangga polutan
  • Berperan dalam menyimpan dan mendaurulang hara
Ekosistem tanah yang sehat dan subur (healthy soils) mencerminkan adanya interaksi harmonis, baik antara komponen abiotik dengan biotik, maupun sesama komponen biotik membentuk suatu rangkaian aliran energi atau rantai makanan. Komponen biotik dari suatu ekosistem dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu: 
  • produsen: organisme (tumbuhan dan mikroba) yang mampu memanfaatkan sinar matahari sebagai sumber energi dan CO2 sebagai sumber karbon melalui proses fotosintesis untuk menghasilkan biomassa organik (perubahan energi magnetik menjadi energi kimia yang disimpan dalam ikatan senyawa hidro karbon atau senyawa organik), 
  • konsumen: organisme yang mengkonsumsi senyawa organik untuk memenuhi kebutuhan energinya, dan 
  • destruen atau pengurai (dekomposer): mikroba yang merombak senyawa organik yang sudah mati (tanaman, hewan, limbah organik dari perkotaan maupun industri) untuk mendapatkan energi dan nutrisi melalui proses respirasi atau fermentasi. Melalui proses fermetasi ini dihasilkan energi, berbagai produk antara (metabolit) dan mineral (hara makro dan hara mikro). Mineral yang dilepaskan dari proses penguraian (mineralisasi) digunakan oleh tanaman sebagai sumber hara dalam bentuk ion (kation dan anion).
Dari perspektif tanaman, tanah merupakan tempat terjadinya proses konversi hara yang terikat dalam senyawa organik maupun anorganik menjadi hara tersedia atau yang dapat diserap oleh tanaman. Hal ini berarti bahwa tanah merupakan bagian pencernaan eksternal dari tanaman. Konsenkuensinya, kemampuan tanah untuk mendukung pertumbuhan tanaman sangat tergantung pada kualitas dan kesehatan tanah, dan keanekaragaman hayati. Penggunaan berbagai bahan kimia (pestisida) menyebabkan terputusnya aliran energi dan keseimbangan ekosistem alami yang menguntungkan tanaman. Oleh karena itu, manajemen input dalam pertanian organik diarahkan untuk mempertahankan dan meningkatkan biodiversitas yang menguntungkan tanaman sehingga tanah sebagai pencernaan eksternal tanaman berfungsi dengan baik. Kunci utamanya terletak pada pasokan bahan organik tanah sebagai entry point of energy into the soil, dan konservasi tanah dan air.

2. Pupuk Hayati dan Mikoriza
Pupuk hayati (biofertilizers) adalah pemanfaatan inokulan yang mengandung sel hidup atau dorman untuk meningkatkan ketersediaan hara dan pertumbuhan tanaman. Berdasarkan pengertian ini, yang termasuk pupuk hayati antara lain adalah mikroba penambat N baik simbiotik maupun non simbiotik, mikroba pelarut fosfat, mikroba panghasil fitohormon dan cendawan mikoriza (Subra Rao, 1982; Arora, 1988; Sharma et al., 2004; Simarmata, et al., 2005). 

Mikoriza adalah bentuk asosiasi mutualistik antara perakaran tanaman tingkat tinggi dengan cendawan tanah (Basidiomycetes, Ascomycetes dan Zygomycetes). Tanaman inang memperoleh berbagai nutrisi, air, proteksi biologis dan lain-lainnya, sedangkan cendawan memperoleh fotosintat sebagai sumber karbon. Asosiasi mutualistik ini merupakan interaksi antara tanaman inang, cendawan dan faktor tanah. Mikoriza berasosiasi dengan sekitar 80 – 90 % jenis tanaman yang tersebar di daerah artik sampai ke daerah tropis dan dari daerah bergurun pasir sampai ke hutan (Brundrett, 1999; Marx, 2004).

Berdasarkan struktur tubuh dan cara infeksi terhadap tanaman inang, mikoriza dapat digolongkan menjadi 6 kelompok besar (tipe), yaitu :
  • Endomikoriza, yaitu asosiasi cendawan dari Zygomecetes (Glomales) yang membentuk vesikula dan arbuskula di dalam sel akar (VAM = vesicular-arbuscular mycorrhiza), atau cendawan mikoriza arbuskula (CMA). Jaringan hifa masuk ke dalam sel kortek akar dan membentuk struktur yang khas berbentuk oval yang disebut vesicle dan sistem percabangan hifa yang disebut arbuscule, sehingga endomikoriza disebut juga vesicular-arbuscular micorrhizae (VAM) atau (arbuscular mycorrhiza fungi = AMF), dan spora dibentuk di dalam tanah atau akar.
  • Ektomikoriza (ECM), yaitu asosiasi cendawan dari Basiodiomycetes dan jamur lainnya yang membentuk jaringan hifa seperti mantel pada akar lateral (hartig net). Jaringan hifa tidak sampai masuk ke dalam sel, tetapi berkembang di antara sel kortek akar. Sangat banyak dijumpai pada tanaman-tanaman kehutanan (Angiospermae dan Gymonspermae). Tubuh buah (sporocarps) ECM banyak yang dapat dikomsumsi.
  • Ektendo-, arbutoid-, dan monotropoid mikoriza, yaitu asoasiasi yang mirip dengan ektomikoriza atau peralihan dari kedua bentuk di atas.
  • Mikroriza Anggrek (Orchid mycorrhiza), yaitu membentuk gulungan hifa di dalam akar atau batang tanaman Famili Orchidaceae.
  • MIkoriza Ericoid (Ericoid mycorrhizas), yaitu mikoriza yang memiliki gulungan hifa pada bagian sel terluar dari bulu-bulu akar tanaman ordo Ericales.
  • Asosiasi mikoriza pada tanaman Lily (Thysanotus) yang jaringan hifa hanya tumbuh di dalam sel epidermis.
Penyebaran yang luas dari pupuk hayati mikoriza pada berbagai tanaman menjadikannnya unggulan dalam revitalisasi ekosistem tanah dan pertanian berbasis lingkungan (pertanian ekologis).

3. KONTRIBUSI MIKRORIZA DALAM PENYEHATAN EKOSISTEM DAN PERTANIAN EKOLOGIS
1. Mikoriza dan Pertumbuhan Tanaman
Tanaman sebagai mahluk memiliki sistem pengolahan makanan (pencernaan) internal dan eksternal. Pada sistem pencernaan eksternal tanaman memerlukan batuan berbagai organisme tanah dan enzim tanah untuk mengubah bentuk hara (nutrisi) dalam bentuk senyawa tidak tersedia menjadi bentuk yang dapat diserap tanaman. Selain itu tanaman membentuk berbagai kerjasama (simbiosis) dalam tanah untuk meningkatkan ketersediaan berbagai macam faktor tumbuh dan perbaikan lingkungan tumbuh. Interaksi antara cendawan mikoriza dengan tanaman inangnya bersifat mutualistis, yaitu saling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Asosiasi ini memberi manfaat yang sangat besar bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara tidak langsung, cendawan mikoriza berperan dalam perbaikan struktur tanah, serta meningkatkan kelarutan hara dan proses pelapukan bahan induk. Sedangkan secara langsung, cendawan mikoriza dapat meningkatkan serapan air dan hara, serta melindungi tanaman dari patogen akar dan unsur toksik (Brundett et al., 1996; Brundrett, 1999; Auge, 2004; Goicoechea, et al., 2005). Kontribusi mikoriza dalam mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan zona eksploitasi perakaran hingga 10 - 20 kali sehingga suplai hara bagi tanaman meningkat dengan signifikan.
2. Memperluas bidang kontak perakaran dan meningkatkan kemampuan menyerap hara dan air di dalam tanah dengan signifikan
3. Meningkatkan kelarutan dan ketersediaan hara, khususnya hara yang tidak atau sukar larut dalam tanah (P) sehingga tersedia bagi tanaman. Akar bermikoriza pada lahan masam mampu mensuplai hara tanaman dengan baik sehingga pertumbuhan tanaman lebih baik
4. Kolonisasi mikoriza (CMA atau Ektomikoriza) pada akar berperan sebagai penghalang biologi (bioprotection) terhadap infeksi patogen akar (jamur dan nematoda). 
5. Meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kekeringan dan kelembaban yang ekstrim (cekaman air). Hifa mikoriza mampu menembus pori mikro dan mengambil air walaupun dalam jumlah yang relatif sedikit
6. Meningkatkan produksi fitohormon dan zat pengatur tumbuh lainnya seperti auksin, sitokinin dan giberelin di rizosfir. 
7. Mikoriza dapat mengubah arsitektur perakaran sehingga lebih efisien dalam memanfaatkan berbagai faktor tumbuh 
8. Jaringan hifa pada perakaran meningkatkan ketahanan tanaman dan adaptasi terhadap perubahan lingkungan tumbuh sehingga tanaman tumbuh lebih baik
9. Meningkatkan toleransi tanaman terhadap senyawa atau unsur logam berat dalam tanah
10. Berperan dalam transformasi unsur hara (proses biogeokemia) di dalam tanah, yaitu melalui proses mineralisasi maupun dekomposisi berbagai senyawa organik.

Keefektifan mikoriza tersebut tentu berkaitan erat dengan berbagai faktor lingkungan tanah abiotik (konsentrasi hara, pH, kadar air, temperatur, pengolahan tanah dan penggunaan pupuk/pestisida) dan faktor biotik (interaksi mikroba, spesies cendawan, tanaman inang, tipe perakaran tanaman inang, dan kompetisi antar cendawan mikoriza). Hasil berbagai kajian menunjukkan banyak tanaman yang tidak dapat tumbuh dan berkembang tanpa kehadiran mikoriza. Berdasarkan ketergantungan terhadap mikoriza, tanaman dikelompokkan menjadi: (1) Tanaman obligat bermikoriza (obligatorily micorrhizal plants), (2) Tanaman fakultatif bermikoriza (Facultatively mycorrhizal plants), dan (3) Tanaman nonmikoriza (Nonmycorrhizal plants).

2. Mikoriza dan Kesehatan Ekosistem Tanah
Kehadiran mikoriza dalam tanah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perbaikan kualitas, kesehatan tanah dan aliran energi dalam rantai makanan (food web, antara lain sebagai berikut;
1) Perbaikan Struktur Tanah. Jaringan hifa eksternal dari mikoriza memperbaiki dan memantapkan struktur tanah. Sekresi senyawa-senyawa polisakarida, asam organik dan lendir yang dihasilkan mampu mengikat butir-butir primer menjadi agregat mikro ("Organic binding agent") Selanjutnya agregat mikro tersebut melalui proses "mechanical binding action" oleh hifa eksternal akan membentuk agregat makro yang mantap (Brundrett, 1999; Linderman, 1996). Wright dan Uphadhyaya (1998) mengatakan bahwa cendawan VAM mengasilkan senyawa glycoprotein glomalin yang berkorelasi dengan peningkatan kemantapan agregat. Konsentrasi glomalin umumnya lebih tinggi pada tanah-tanah yang tidak diolah dibandingkan dengan yang diolah. Perbaikan struktur tanah tersebut akan meningkatkan aerasi dan laju infiltrasi serta mengurangi erosi tanah sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu, dikatakan bahwa cendawan mikoriza juga simbion bagi tanah.
2) Jaringan hifa berperan penting dalam daur hara dalam tanah dan mencegah terjadinya kehilangan hara dari ekosistem tanah
3) Hifa mikoriza berperan penting dalam mentransfer (relokasi) senyawa hidrokarbon (fotosintat) dari perakaran tanaman kepada organisme tanah (sumber energi dalam rantai makanan dalam tanah)
4) Sporocarps epigeous dan hypogeous sporocarps dari ektomikoriza dan CMA merupakan sumber makanan bagi hewan placental, marsupial dan biota di dalam tanah. 
5) Hifa mikoriza dan tubuh buah (fruits bodies dari ektomikoriza) merupakan sumber makanan bagi berbagai macam fauna tanah
6) Mikoriza memberikan pengaruh yang positif terhadap perkembangan dan pertumbuhan mikroba tanah yang menguntungkan (penambat N dan pelarut fosfat). Mikoriza juga diketahui berinteraksi sinergis dengan bakteri pelarut fosfat atau bakteri pengikat N. Inokulasi bakteri pelarut fosfat (PSB) dan mikoriza dapat meningkatkan serapan P oleh tanaman tomat (Kim et al,1998) dan pada tanaman gandum (Singh dan Kapoor, 1999). Adanya interaksi sinergis antara VAM dan bakteri penambat N2 dilaporkan oleh Azcon dan Al-Atrash (1997) bahwa pembentukan bintil akar meningkat bila tanaman alfalfa diinokulasi dengan Glomus moseae. Sebaliknya kolonisasi oleh jamur mikoriza meningkat bila tanaman kedelai juga diinokulasi dengan bakteri penambat N, B. japonicum
7) Mikoriza berperan penting dalam meningkatkan jumlah karbon yang sangat menentukan kualitas dan kesehatan tanah
8) Jaringan hifa ekternal dari mikoriza akan memperluas bidang serapan air dan hara. Disamping itu ukuran hifa yang lebih halus dari bulu-bulu akar memungkinkan hifa dapat menyusup ke pori-pori tanah yang paling kecil (mikro) sehingga hifa dapat menyerap air pada kondisi kadar air tanah yang sangat rendah. 
9) Keanekaragaman jamur dapat digunakan sebagai indikator kualitas ekosistem tanah
10) Mikoriza dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman melalui perlindungan tanaman dari patogen akar dan unsur toksik. Brundrett (1999) menyatakan bahwa struktur mikoriza dapat berfungsi sebagai pelindung biologi bagi terjadinya patogen akar. Mekanisme perlindungan dapat diterangkan sebagai berikut : 
Selaput hifa (mantel) dapat berfungsi sebagai barier masuknya patogen. 
Mikoriza menggunakan hampir semua kelebihan karbohidrat dan eksudat lainnya, sehingga tercipta lingkungan yang tidak cocok untuk patogen. 
Cendawan mikoriza dapat mengeluarkan antibiotik yang dapat mematikan atau menghambat pertumbuhan patogen. 
Akar tanaman yang sudah diinfeksi cendawan mikoriza, tidak dapat atau sulit diinfeksi oleh cendawan patogen karena fungi patogen tersebut harus berkompetisi dengan mikoriza terlebih dahulu. 

4. Strategi meningkatkan KEefektipan Mikoriza
Mikoriza termasuk pupuk hayati yang obligat simbion, yaitu mutlak memerlukan tanaman inang (makro simbiont) agar dapat hidup dan berkembang. Oleh karena itu, strategi dalam meningkatkan keefektifan mikoriza untuk meningkatkan ketersediaan hara, perbaikan lingkungan tumbuh bagi pertumbuhan tanaman berkaitan erat dengan jenis dan asal inokulan, perakaran tanaman, teknik aplikasi dan rekayasa lingkungan tumbuh.

1. Inokulan Mikoriza
Berdasarkan eksplorasi dan trapping dari berbagai ekosistem telah diketahui jumlah species CMA (VAM) sangat banyak dari ordo Glomales (Morton, 1988), selanjutnya dibagi menjadi subordo berdasarkan kehadiran vesikel, yaitu Glomineae: mempunyai vesikel dan membentuk chlamydospores (thick wall, asexual spore) dan Gigasporineae: tidak memiliki vesikel dalam akar dan membentuk azygospores (spores resembling a zygospore but developing asexually from a subtending hypha resulting in a distinct bulbous attachment). Genus mikoriza yang banyak digunakan sebagai pupuk hayati antara lain adalah Glomus sp, Acaulaspora sp, Gigaspora sp dan Scultellospora sp yang diperoleh dari berbagai tanaman inang pada berbagai ekosistem (tanaman pangan, sayuran, perkebunan dan kehutanan). Sedangkan ektomikoriza yang digunakan di Indonesia adalah Pilolithus arrhizus, dan Scleroderma columnare pada tanaman pinus, kayu putih, dan meranti (Turjaman, et al., 2002). Pemanfaatan ekto mikoriza yang dapat dikomsumsi (edible) sepert Cantharellus dan Scleroderma akan memberikan keuntungan ganda. 

Kendatipun secara umum mikoriza dapat berasosiasi dengan perakaran berbagai tanaman, tetapi keefektifannya juga ditentukan oleh jenis tanaman (kecocokan) dan asal ekosistem inokulan tersebut (tanah masam, salin, lahan bekas tambang, tanah terkontaminiasi logam berat, tandus dan kering, dan lain-lainnya). Oleh karena itu, penggunaan inokulan campuran merupakan solusi yang tepat untuk meningkatkan keberhasilan pupuk hayati. Inokulan mikoriza yang berasal dari ekositem tersebut, jika digunakan kembali pada ekosismtem yang bersangkutan akan lebih adaptif. 

Langkah selanjutnya adalah menguji kecocokan species CMA atau ektomikoriza dengan tanaman inangnya. Mikoriza yang yang berasosiasi dengan baik dengan tanaman inang tersebut selanjutnya diperbanyak secara massal dan digunakan pada ekosistem tersebut.

2. Tanaman Inang dan Sistem Perakaran
Kecocokan mikoriza dengan tanaman inang berkaitan erat dengan sistem perakaran tanaman dan kondisi lingkungan yang merangsang tanaman untuk mengeluarkan eksudat untuk menstimulir pertumbuhan dan perkembangan CMA atau VAM pada akar tanaman. Secara umum, tanaman dengan sistem perakaran yang halus (banyak) kurang responsif terhadap pertumbuhan dan perkembangan mikoriza. Sebaliknya tanaman dengan jumlah akarnya relatif sedikit akarnya akan sangat resposif terhadap mikoriza. Tanaman akan berupaya untuk bekerjasama dengan mikoriza dalam memperluas zona eksploitasi akar untuk mendapatkan nutrisi, air dan senyawa lainnya (Simarmata et al., 2004). 

Ketergantungan pada mikoriza berkaitan erat dengan sistem dan karakteristik perakaran. Oleh karena itu, pemanfatan mikoriza pada tanaman yang mempunyai sistem perakaran yang relatif besar dengan jumlah yang relatif sedikit akan sangat efektif, terutama pada kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan (kering, pH masam, nutrisi kurang tersedia).

3. Ekosistem Tanah 
Ekosistem tanah yang telah sakit (lahan kritis) memiliki berbagai kendala seperti tebal solum tipis, struktur tanah masif, ketersediaan air terbatas, terdapat berbagai senyawa toksis (kelarutan Al tinggi, asam-asam organik, logam berat), kandungan bahan organik rendah pH masam, ketersediaan hara rendah dan berbagai permasalahan lainnya. Revitalisasi kualitas tanah akan berlangsung lebih cepat dengan memanfaatkan mikroza sebagai bioremediator. Artinya, keefektifan mikoriza pada ekosistem marginal tersebut sangat baik sehingga dapat meningkatkan efisiensi usaha tani dan produktivitas tanah dengan teknologi ramah lingkungan. Hasil kajian membuktikan bahwa tanpa inokulasi dengan mikroriza, pertumbuhan tanaman revegetasi pada tanah marginal sangat rendah.

4. Pengujian Biologis (Bioassay)
Untuk mengetahui dosis mikoriza dan kontribusinya pada tanaman (mycorrhizal dependency) dalam suatu ekosistem dapat dilakukan dengan pengujian biologis. Pengujian biologis sangat penting untuk mengetahui apakah dalam tanah sudah terdapat mikoriza atau belum. Jika dalam tanah sudah tersedia, inokulasi dapat ditiadakan, sebaliknya bila dalam tidak tersedia, inokulasi harus dilakukan. Oleh karena itu, pengujian biologis bersifat lokal sehingga perlu dilakukan pada setiap ekosistem secara terencana (by design) untuk mengetahui jenis mikroiza yang paling efektif.

5. Teknik Aplikasi 
Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa keberhasilan pupuk hayati berkaitan erat dengan kemampuannya mengokupasi dan mengkolonisasi akar sedini mungkin. Oleh karena itu, teknik dan waktu aplikasi inokulan sangat menentukan keefektifan mikoriza tersebut. Aplikasi pada persemaian selain mudah dan murah, juga efektif untuk mempercepat dominasi CMA atau EM (ektomikoriza) pada perakaran tanaman. Dalam hal ini perlu diperhatikan kehadiran akar pada saat spora mikoriza bercambah sangat menentukan. Jika spora sudah berkecambah, tetapi akar tanaman belum tumbuh maka dapat menimbulkan kegagalan. Secara umum, penggunaan CMA pada tanaman yang disemaikan lebih dahulu (tanaman kehutanan, perkebunan, buah-buahan dan beberapa tanaman sayuran) relatif murah dan efektif. Sebaliknya, tanaman yang ditanam langsung (umumnya tanaman pangan) dengan jumlah populasi yang relatif besar (> 20.000 tanaman/ha), penggunaan CMA relatif mahal sehingga menjadi kendala dalam penerapannya secara komersial. Jika populasi tanaman 40.000 tanaman/ha dengan dosis yang diperlukan sekitar 10 – 20 gram inokulan/tanaman, maka diperlukan paling tidak sekitar 400 – 800 kg inokulan/ha. Oleh karena itu, perlu dikembangkan teknologi perlakuan benih (seed treatment), yaitu mencampurkan inokulan dengan benih sebelum ditanam sehingga jumlah inokulan dapat dikurang secara signifikan atau hingga kebutuhan hanya sekitar 1- 2 kg/ha. Upaya lain yang dapat dilakukan adalah menyebarkan tanah yang bermikoriza (sebagai inokulan) pada aeral pertanaman. Untuk itu, perlu disediakan lahan dalam luasan tertentu untuk memperbanyak mikroriza di lapangan

6. Rekayasa Lingkungan Tumbuh
Upaya untuk memacu pertumbuhan dan perkembangan mikoriza pada perakaran tanaman dapat dilakukan dengan menciptakan lingkungan tumbuh yang baik bagi perakaran tanaman dan memperbaiki erasi tanah. Mikoriza memperoleh energi (karbon beruapa fotosintat) dan nutrisi lainnya (makro maupun mikro) dari dalam tanah. Oleh karena, pemberian bahan organik dan nutrisi pada awal inokulasi sangat diperlukan untuk memperbaiki kualitas tanah untuk mendukung pertumbuhan tanaman maupun mikroriza. Jika kondisi lingkungan tumbuh yang kurang menguntungkan bagi tanaman seperti kekeringan (water stress) dan tanah berpadas, miskin hara dan lain-lainnya, maka akar tanaman bermikoriza akan mendorong dan merangsang perkembangan dan pertumbuhan mikoriza lebih lanjut.

5. PROSPEK DAN TANTANGAN Pemanfaatan MIKORIZA DALAM REVITALISASI KESEHATAN EKOSISTEM LAHAN KRITIS
Tekanan pada ekosistem tanah di Indonesia akan terus meningkat sejalan laju pembangunan dan pertambahan penduduk untuk menghasilkan berbagai produk pertanian dengan menitikberatkan pada penggunaan pupuk buatan dan berbagai bahan kimia secara intensif. Akibatnya degradasi kualitas tanah dan luas lahan kritis akan terus meningkat dan terjadi gangguan pada ekosistem tanah. Di sisi lain, kesadaran akan produk ramah lingkungan terus berkembang (environmentally friendly products) dalam pasar global.

Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mengembangkan pertanian berbasis ekologi yang berkelanjutan (sustainable agriculture). Kunci utama dalam pertanian ramah lingkungan adalah penggunaaan bahan alami seperti pupuk organik dan pupuk hayati. Pemanfaatan pupuk hayati mikoriza untuk meningkatkan kualitas dan kesehatan ekosistem tersebut, juga sekaligus memberikan nilai ekonomi untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat maupun sumber devisa. 

Hasil berbagai penelitian pada lahan marjinal di Indonesia menunjukkan bahwa aplikasi pupuk biologis seperti Azotobacter sp., mikroba pelarut fosfat (Bacillus sp, Pseudomonas sp, dan lain-lainnya), mikoriza vesikula arbuskula (Glosmus sp., dan Gigaspora sp.) dapat meningkatkan produksi berbagai tanaman (jagung, kedelai, kacang tanah, tomat, padi dan tanaman lainnya) dan ketersediaan hara bagi tanaman antara 20 hingga 100% (Simarmata dan Herdiani, 2004). Aplikasi inokulan campuran (gabungan beberapa mikroba) menguntungkan ternyata dapat meningkatkan hasil berbagai tanaman dengan signifikan (Simarmata, 2004).

Penelitian Ba et al (1999) pada tanah kahat hara menunjukkan bahwa inokulasi ektomikoriza pada bibit tanaman Afzelia africana dapat meningkatkan pertumbuhan bibit dan serapan hara oleh tanaman hutan tersebut. Ternyata tanaman yang dapat tumbuh dan berkembang dengan baik adalah yang bermikoriza. Hasil berbagai penelitian juga membuktikan bahwa tanaman yang bermikoriza terbukti mampu bertahan pada kondisi stres air yang hebat. Morte et al (2000) menunjukkan bahwa tanaman Helianthenum almeriens yang diinokulasi dengan Terfesia claveryi mampu berkembang menyamai tanaman pada kadar air normal yang ditandai berat kering tanaman, net fotosintesis, serta serapan hara NPK. Penelitian lain menunjukkan bahwa tanaman narra (Pterocarpus indicus) (Castillo dan Cruz, 1996) dan pepaya (Cruz et al, 2000) bermikoriza memiliki ketahanan yang lebih besar terhadap kekeringan dibandingkan tanaman tanpa mikoriza yang ditandai dengan kandungan air dalam jaringan dan transpirasi yang lebih besar, meningkatnya tekanan osmotik, terhindar dari plasmolisis, meningkatnya kandungan pati dan kandungan proline (total dan daun) yang lebih rendah selama stress air. 

Hasil berbagai penelitian juga menunjukkan bahwa tanaman bermikoriza pada tanah salin dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. CMA seperti Glomus spp mampu hidup dan berkembang di bawah kondisi salinitas yang tinggi dan mampu meningkatkan hasil (Lozano et al, 2000). Tanaman tomat yang diinokulasi dengan mikoriza memili pertumbuhan lebih baik dibanding dengan tanpa mikoriza dan konsentrasi P dan K rata-rata lebih tinggi sedangkan konsentrasi Na rata-rata lebih rendah dibandingkan dengan tanaman tanpa mikoriza (Al-Kariki, 2000). Hasil penelitian Lozano et al (2000) menunjukkan bahwa Glomus deserticola lebih efektif dari Glomus sp.

Hasil berbagai kajian juga menunjukkan bahwa mikoriza mampu meningkatkan toleransi tanaman terhadap logam beracun dengan melalui akumulasi logam-logam dalam hifa ekstramatrik dan "extrahyphae slime" sehingga mengurangi serapannya ke dalam tanaman inang. Pemanfaatan cendawan mikoriza dalam bioremediasi tanah tercemar, disamping dengan akumulasi bahan tersebut dalam hifa, juga dapat melalui mekanisme pengkomplekan logam tersebut oleh sekresi hifa ekternal (Subiksa, 2002). Oleh karena itu pemanfaatan mikoriza pada ekosistem yang tercemar logam berat, terutama di areal pertambangan (tailing dan sekitarnya) sangat potensial. Pengalaman menunjukkan bahwa kontaminasi tanah dengan logam berat sering menyebabkan kematian bibit dan kegagalan program revegetasi. 

Kajian Aggangan et al. (1997) pada tegakan Eucalyptus menunjukkan bahwa Ni lebih berbahaya dari pada Cr. Gejala keracunan Ni tampak pada konsentrasi 80 µmol/L pada tanah yang tidak dinokulasi dengan mikoriza sedangkan pada tanah yang diinokulasi dengan Pisolithus sp., gejala keracunan terjadi pada konsentrasi 160 µmol/L. Isolat Pisolithus yang diambil dari residu pertambangan Ni jauh lebih tahan terhadap kadar Ni yang tinggi dibandingkan dengan Pisolithus yang diambil dari tegakan eucaliptus yang tidak tercemar logam berat.

Pemanfaatan mikoriza dalam bioremediasi lahan basah yang tercemar oleh limbah industri (polutan organik, sedimen pH tinggi atau rendah pada jalur aliran maupun kolam pengendapan) tanaman semi akuatik seperti Phragmites australis juga memberikan hasil yang menggembirakan. Oliveira et al. (2001) menunjukkan bahwa P. australis dapat berasosiasi dengan cendawan mikoriza melalui pengeringan secara gradual dalam jangka waktu yang pendek. Hal ini dapat dijadikan strategi pengelolaan lahan terpolusi (phytostabilisation) dengan meningkatkan laju perkembangan spesies mikotropik. Kajian Joner dan Leyval (2001), menunjukkan bahwa perlakuan mikoriza pada tanah yang tercemar oleh polysiklik aromatic hydrocarbon (PAH) dari limbah industri berpengaruh terhadap pertumbuhan clover, tapi tidak terhadap pertumbuhan reygrass. Dengan mikoriza laju penurunan hasil clover karena PAH dapat ditekan. Tanaman yang tumbuh pada limbah pertambangan batubara yang diteliti Rani et al (1991) menunjukkan bahwa dari 18 spesies tanaman setempat yang diteliti, 12 diantaranya bermikoriza. Pada tanaman yang berkembang dengan baik di lahan limbah batubara tersebut, ditemukan adanya "oil droplets" dalam vesikel akar mikoriza. Hal ini menunjukkan bahwa ada mekanisme filtrasi, sehingga bahan beracun tersebut tidak sampai diserap oleh tanaman.

Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa pemanfaatan mikoriza merupakan alternatif yang ramah lingkungan untuk memperbaiki kualitas ekosistem tanah yang rusak atau tercemar. Kendala utama yang dihadapi saat ini berkaitan erat dengan ketersediaan inokulan (kualitas dan kuantitas) dan terbatasnya sumber daya manusia yang menguasai teknologi mikoriza. Hingga saat ini waktu yang diperlukan untuk perbanyakan inokulan CMA (obligat simbion) masih relatif lama dan viabilitas inokulan tersebut sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan (suhu dan kelembaban). Selain itu, standarisasi kulitas inokulan CMA masih perlu dikembangkan dan dibakukan. Di lain pihak, sosialisasi (diseminasi) mikoriza hingga ke tingkat petani masih sangat kurang. Oleh karena itu, perlu dikembangkan teknologi lebih lanjut untuk memperoleh inokulan dengan mudah dan mempunyai baku mutu yang baik.

6. KESIMPULAN
1. Kualitas & kesehatan ekosistem tanah di Indonesia menurun secara drastis (lahan kritis terus meningkat) sejalan peningkatkan intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian, kegiatan industri kehutanan dan pertambangan
2. Revitalisasi keberlanjutan ekosistem tanah kritis dan tercemar dengan pengembangan pertanian berbasis ekologis (LISA, LEISA, Pertanian Ekologis Terpadu dan Pertanian Organik) merupakan solusi ramah lingkungan
3. Pupuk Hayati Mikoriza (endomikoriza dan ekto mikoriza) merupakan andalan utama dalam revitalisasi kesehatan ekoisistem tanah untuk meningkatkan pertumbuhan maupun hasil tanaman pada tanah-tanah marjinal di Indonesia
4. Penelitian dan pengembangan, khususnya dalam teknologi inokulan mikoriza perlu diintensifkan untuk menghasilkan inokulan efektif dalam waktu yang singkat dengan harga yang murah.